"Tidak boleh ada keraguan, mengingat hukuman mati sampai saat ini adalah konstitusional diterapkan di Indonesia," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Jumat (19/12/2014).
Sebab, menurut Bayu, UUD 1945 mengatur bahwa hak atas hidup sesuai Pasal 28I ayat 1 UUD 1945, dalam pelaksanaannya bisa dibatasi yang pembatasannya ditentukan oleh Pasal 28J ayat 2 yaitu ditetapkan dengan UU, semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Bayu, konstitusi adalah resultan hasil dari pertarungan/perdebatan pemikiran dan ide-ide dari seluruh elemen bangsa. Ketika sudah disepakati oleh para pengubah UUD 1945 pada perubahan tahun 1999-2002 bahwa Indonesia menganut HAM dalam pelaksanaannya dibatasi yang kemudian melahirkan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945, maka sejak saat itu semua elemen bangsa harus mendukung kesepakatan luhur tersebut.
"Konstitusi bukanlah mengenai benar atau salah, konstitusi adalah kesepakatan yang tidak bisa dinilai dari benar atau salah menurut teori tertentu," cetus Bayu.
Sehingga, sebelum ada perubahan UUD 1945 baru, maka hukuman mati adalah konstitusional. Konsep HAM yang diakui dalam UUD 1945 tetap bisa dibatasi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945.
"Jadi kuncinya adalah politik hukum kita tentang HAM yang ada dalam UUD. Saya orang yang konstitusionalis, selama konstitusi kita sebagai resultante bangsa masih mengatur kemungkinan adanya hukuman mati maka bagi saya kesepakatan itu harus kita dukung," pungkasnya.
(asp/nrl)