Pembentukan LMKN ini merupakan amanat dari UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Melalui peraturan ini, industri hiburan dan pengusaha harus membayar royalti jika menggunakan musik untuk kepentingan mereka. Seperti kafe-kafe, tempat karaoke, warung makan, konser, pentas seni mahasiswa, termasuk tempat house music seperti kafe-kafe dangdut di pinggir jalan.
"Ada bagian untuk pencipta atau royalti atas hak mechanical rights. Ada hak lain yang sering diabaikan, royalti performing. Misal dibunyikan di restoran atau tempat umum lainnya untuk kenyamanan pengunjung untuk ciptakan atmosfir. Itu kan enggak bisa dipakai begitu saja. Atau karaoke, atau konser, atau radio, TV juga pakai," ujar musisi Addie MS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Addie, tak ada pengecualian bagi pihak yang menggunakan musik untuk mencari keuntungan. Meski begitu, arranger ini menyatakan memang perlu ada klasifikasi untuk kriteria obyek pembayar royalti. LMKN lah yang nantinya akan mengatur mengenai sistem dan regulasi tersebut.
"Enggak terkecuali, semuanya. Saat kita menggunakan lagu orang lain untuk kepentingan bisnisnya harus dibayar. Dia kan pakai lagu yang diciptakan orang dengan susah payah. Menciptakan lagu kan enggak mudah, penuh keringat dan darah," kata suami penyanyi Memes ini.
"Pasti ada klasifikasi. Enggak mungkin dibikin sistem untuk memiskinan usahanya. Intinya semangat untuk memberdayakan semua kelompok usaha. Tapi pasti kita butuh waktu penyempurnaan. Kita butuh fairness, contoh hotel putar lagu untuk tamunya. Mereka perlu bayar royalti. Selama ini banyak terabaikan," sambung Addie.
Senada dengan Addie, Dirjen HKI Ahmad Ramli juga mengatakan nantinya akan ada klasifikasi mengenai sistem pembayaran. Ia pun yakin masyarakat akan memahami regulasi ini.
"Kriterianya ada. Mungkin nanti kalau warung kecil hanya murah (bayar royaltinya). Pensi di sekolah atau kampus kalau enggak berbayar enggak perlu bayar, tapi kalau pensi level murah mungkin nanti ada kriterianya bayar berapa. Kalau ada penyanyi konser, pencipta juga harus dibayar setiap lagunya. Jadi enggak cuma penyanyinya. Saya yakin masyarakat mengerti, karena kafe enggak mungkin operasional tanpa lagu," Ahmad memaparkan.
Untuk itu Ahmad menyarankan agar kafe-kafe atau warung-warung kecil untuk tidak menyetel lagu dengan menggunakan compact disk melainkan hanya melalui radio saja. Dengan begitu, mereka tak perlu membayar royalti.
"Saya menyarankan tidak nyetel CD, tapi radio aja. Tapi kalau misal karaoke walau kecil harus tetap bayar. Kalau karaoke misal bayar per room berapa setahunnya. Ada ancaman pidananya 4 tahun penjara," tutur Ahmad.
Abdee Slank yang hadir dalam konferensi pers tersebut memberikan saran mengenai sistem klasifikasi ini. Menurutnya, bisa saja mereka yang tidak masuk dalam obyek wajib pajak tidak perlu membayar.
"Karena sebenarnya mereka kan juga bantu promosikan lagu. LMKN harus menentukan klasifikasi usaha, antara restoran besar dan warung kecil tentu tarifnya akan beda. Ketika lagu-lagu itu digunakan untuk komersil, mereka mengumumkan lagu, seperti TV dan radio ya harus bayar," ucap Abdee.
Salah satu tim pansel lainnya, Dirjen Administrasi Hukum Umum Harkristuti mengatakan langkah ini perlu diambil karena hak cipta selama ini seringkali diabaikan. Padahal hak cipta disebutnya juga sebagai salah satu unsur hak asasi manusia.
"Hak cipta merupakan HAM yang agak sedikit di-explore. Ini sudah lama jadi concern kita, pembajakan ini itu, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Saya pribadi senang akhirnya Indonesia bisa menapak ke depan. Pencipta ini tidak banyak dapat perhatian, termasuk dari Komnas HAM," ucap Harkristuti di lokasi yang sama.
Lalu bagaimana pendapat masyarakat?
Salah satu pengguna aktif musik atau lagu adalah penari atau dancer. Jika kebijakan ini diwajibkan juga bagi pengguna musik meski dalam skala kecil, maka para penari ini harus membayar royalti atas lagu-lagu yang mereka gunakan untuk perform.
"Saya sebagai dancer nggak setuju, dancer itu pakai lagu diremix, nggak cuma 1 pencipta, bisa 10 pencipta, nggak mungkin dong kita bayar ke semuanya. Penghasilan kita berapa sih. Apalagi kita grup, harus dibagi juga penghasilannya," tegas seorang dancer, Amel saat ditemui di kawasan Kuningan, Jaksel, Rabu (17/12).
"Nggak setuju banget, sampai segitunya masa sih. Kan kita pakai lagu dia, dia juga jadi terkenal, kan sama-sama nguntungin. Kalau kita pakai lagu dia, dia jadi makin terkenal terus kita suruh bayar juga, wah dia menang banyak dong," tukas seorang dancer lainnya dalam kesempatan yang sama, Hana.
(ear/rmd)