Faktor Longsor di Banjarnegara: Lereng Curam, Mata Air dan Gerak Tanah

Faktor Longsor di Banjarnegara: Lereng Curam, Mata Air dan Gerak Tanah

- detikNews
Rabu, 17 Des 2014 13:28 WIB
(Foto: Arbi Anugerah/detikcom)
Jakarta -

Longsor di Banjarnegara yang menewaskan sedikitnya 64 orang terjadi karena berbagai faktor. Faktor itu seperti kemiringan lereng, adanya mata air bawah tanah dan pergerakan tanah. Sedangkan tata guna lahan tidak berpengaruh.

Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adrin Tohari yang sempat mendatangi lokasi longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, mengatakan bahwa struktur lapisan tanah di dusun itu terdiri dari lapisan batu vulkanik. Adrin juga mengatakan ada faktor kecuraman dan gerakan tanah.

"Lerengnya sangat curam di daerah Karangkobar yaitu 40 sampai 60 derajat. Lokasi gerakan tanah Jemblung berada di zona kerentanan menengah dan tinggi," jelas Adrian dalam diskusi publik tentang 'Kajian Bencana Longsor Banjarnegara' di Media Center LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (17/12/2014).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di lokasi longsor terjadi perubahan jenis gerakan yang pada saat kejadian tanah ini mengalir kurang lebih 1 kilometer jauhnya. Ada 2 arah pergerakan tanah saat longsor terjadi, yakni di sisi timur dan di sisi barat dengan membawa jenis tanah yang berbeda. Namun, korban lebih banyak ditemukan di sisi timur tebing.

"Gerakan tanah jenis aliran tanah lumpur ke barat, aliran tanah padat ke timur. Ini sangat berbahaya karena bisa menabrak apapun yang ada di lintasannya. Tanah berupa blok tapi tidak padat, rapuh," jelas Adrin.

Faktor utama yang menjadi penyebab longsor adalah adanya aliran air bawah permukaan yang muncul sebagai mata air. Mata air ini muncul di sisi tebing yang lemah dan bercampur dengan tanah.

"Yang paling penting adalah adanya aliran air dalam lereng yang jadi faktor utama (mata air). Kondisi keairan yang tidak bisa dikontrol, ketemu lahan basah lalu jadi lumpur. Di sini ada mata air yang mudah keluar dari dinding gawir (terjal). Banyak sekali air keluar mengindikasikan adanya permukaan air," jelasnya.

Nah, mata air itu keluar dari dinding terjal menembus dinding tebing terlemah seperti rekahan tanah, kemudian bercampur dengan tanah yang membuatnya berat hingga menyebabkan pergerakan tanah.

Sedangkan curah hujan, bukanlah faktor utama, melainkan faktor pemicu. Curah hujan sebelum longsor diakuinya memang di sangat tinggi di atas normal.

"Tingginya curah hujan aspek pemicu longsor. 11 Hari sebelum kejadian curah hujan mencapai 103,8 mm per hari, normalnya 70 mm per hari," jelas Adrin.

Saat ditanya apakah lereng longsor karena tata guna lahan dan kurang tanaman keras, Adrin menjelaskan tata guna lahan tidak berpengaruh.

"Di sini banyak sekali kebun campuran, ada kopi, tumpang sari, dan ada lahan kering palawija, ada sawah. Di situ ada pemukiman. Menurut saya, tata guna lahan tidak berperan atau sebagai faktor pergerakan tanah karena sudah terjadi penggunaan lahan dari dulu. Ada saksi mata yang bilang sejak 10 tahun lalu tanahnya sudah digunakan," jelas Adrin.

(nwk/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads