“Dalam teori terorisme, aksi Monis itu disebut lone wolf terrorism, serangan oleh individu yang beraksi tanpa mempunyai afiliasi kelompok teror,” ujar peneliti terorisme UI Ridlwan Habib melalui siaran pers, Selasa (16/12/2014).
Menurut Ridlwan, pelaku teror dalam kategori lone wolf biasanya mempunyai masalah kepribadian yang unik dan terinspirasi dari media massa. Ditambah, gencarnya berbagai macam bentuk propaganda melalui media sosial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ridlwan menyebut, tren lone wolf terrorism di dunia meningkat. Sebelum di Sydney, pada Oktober 2014, ada dua serangan teror di Kanada yang juga dikatagorikan pelakunya seorang lone wolf.
"Yakni pada 20 Oktober, dilakukan oleh Abu Ibrahim al Canadi, dan pada 22 Oktober, oleh Michael Zehaf Bibeu yang menembaki tentara di National War Memorial Canada dan Gedung Parlemen Canada," ucap Ridlwan.
“Ada juga serangan lone wolf di New York pada 23 Oktober oleh seorang mualaf bernama Zale F Thompson,” tambahnya.
Berbeda dengan serangan yang direncanakan oleh kelompok tertentu, serangan model lone wolf sukar diprediksi dan sulit dicegah. “Ya, karena pelakunya bisa siapa saja. Kalau kelompok teroris kan selalu ada pemantauan intelijen, kalau lone wolf sangat terbuka dilakukan siapapun dimana saja,” kata Ridlwan.
Meski insiden Sydney sudah selesai, Ridlwan menyebut ancaman lone wolf tetap perlu diwaspadai. Termasuk Kedutaan Besar Australia di Jakarta juga perlu meningkatkan pengamanannya.
“Lokasi-lokasi strategis seperti kedutaan negara asing, hotel yang banyak menerima tamu asing perlu lebih aware atau waspada terhadap pola-pola lone wolf seperti yang dilakukan Monis di Sydney. Perlu ada latihan dan persiapan menghadapi tindakan-tindakan spontan lone wolf yang sukar ditebak,” papar Ridlwan.
(vid/fiq)