Menyusuri Jejak Bahasa Indonesia, Antara Raja Ali Haji dan Pulau Penyengat

Menyambut HPN 2015

Menyusuri Jejak Bahasa Indonesia, Antara Raja Ali Haji dan Pulau Penyengat

- detikNews
Senin, 15 Des 2014 20:05 WIB
Pulau Penyengat dari kejauhan/Nurul
Batam -

Bicara cikal bakal bahasa Indonesia, maka tak bisa dilepaskan dari dua nama: Raja Ali Haji (RAH) dan Pulau Penyengat. Kedigdayaan RAH telah diakui pemerintah Indonesia dengan memberikan gelar Pahlawan Nasional pada 2004 dan gelar Bapak Bahasa.

Presiden SBY memberikan penghargaan tersebut karena jasa RAH membina bahasa Melayu Kepulauan Riau sehingga menjadi bahasa Melayu Tinggi atau bahasa baku, yang kemudian diangkat menjadi bahasa nasional dengan sebutan bahasa Indonesia.

Pada tahun 2000, Gus Dur yang kala itu menjabat presiden juga mengungkapkan apresiasinya kepada RAH sebagai sosok yang berjasa dalam mempersatukan bangsa dan menciptakan bahasa nasional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tanpa jasa beliau itu, kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini," kata Gus Dur yang juga mempertegas asal bahasa Indonesia dari bahasa Melayu Kepri yang dibina dan dikembangkan oleh RAH dan dijadikan pemersatu bangsa Indonesia.

Lalu siapa Raja Ali Haji (1808-1873)? Bagi pecinta sejarah Melayu tentu nama ini sangat lekat di telinga. Sedangkan bagi masyarakat umum, mungkin lebih familiar dengan karya sastra lama berjudul 'Gurindam Dua Belas' yang pernah disebut-sebut dalam pelajaran di sekolah.

Ya, Gurindam Dua Belas yang mengajarkan agama, bahasa dan budi pekerti ini merupakan mahakarya RAH. Sepanjang hidupnya RAH yang berdarah biru ini dikenal sebagai pujangga, ulama dan sejarawan.

Selain Gurindam Dua Belas, RAH juga menulis buku Pedoman Bahasa berisi tata bahasa Melayu yang kemudian menjadi standar bahasa Melayu dan bertumbuh menjadi bahasa Indonesia. Dengan prestasi inilah wajar bila kemudian Presiden SBY memberi gelar Pahlawan Nasional kepadanya.

Lalu apa hubungan RAH dengan Pulau Penyengat? RAH yang merupakan keturunan dari Raja Riau-Lingga ini berkarya dan wafat di Pulau Penyengat, pulau kecil tak jauh dari Tanjungpinang, ibukota Provinsi Kepri. Hingga sekarang makamnya masih dipelihara baik dan sering dikunjungi turis dari Indonesia, Singapura dan Malaysia, yang tertarik pada sejarah Melayu.
 
Nah, sosok RAH dan Pulau Penyengat ini sering disebut dalam Prakovensi Bahasa dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2015 yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 12-13 Desember lalu di Batam, Kepri. Prakovensi ini bertema 'Bahasa Melayu untuk Indonesia yang Bahari dan Baharu'. Acara ini banyak menyoroti perkembangan bahasa Melayu yang berasal dari Riau yang merupakan leluhur bahasa Indonesia dengan menghadirkan pembicara dari Forum Bahasa Media Massa (FBMM), budayawan Riau, dan penulis, serta ahli bahasa. (Baca juga: Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Asean, Mungkin Nggak Ya?).

Gubernur Kepri M Sani yang membuka kegiatan kebahasaan itu merujuk pada pernyataan Ki Hajar Dewantara yang pernah menyebut, "Yang dinamakan 'bahasa Indonesia' adalah bahasa Melayu…dasarnya berasal dari 'Melayu Riau'. Ki Hajar Dewantara adalah sosok penting karena dia adalah tokoh pertama yang mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia.

Bung Hatta juga pernah menuliskan nama Pulau Penyengat.

"Pada permulaan abad ke-20 ini bahasa Indonesia belum dikenal. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutnya Riouw Maleisch. Bahasa itu berasal dari logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat dalam lingkungan Pulau Riau," ujarnya. Dengan kata lain, Bung Hatta menegaskan bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Kepri dialek Pulau Penyengat.

Berkunjung ke Pulau Penyengat

Peserta prakonvensi kemudian bertandang mencari jejak cikal bakal bahasa Indonesia ke Pulau Penyengat. Pulau ini dinamai Penyengat berdasar legenda yang menyebutkan di masa lalu ada pelaut yang mencari air tawar. Ketika mencari di pulau tersebut, mereka dihajar lebah yang menyengat mereka. Karena itulah kemudian pulau itu disebut Penyengat. Nama Inderaloka dibubuhkan di belakangnya ketika pulau itu menjadi pusat Kerajaan Riau-Lingga.

Pulau itu bisa dicapai dari pelabuhan Batam dengan feri Rp 72 ribu menuju ke pelabuhan Tanjungpinang. Setelah itu bisa naik perahu bermotor pompong menyusuri Sungai Carang yang lebar ke Pulau Penyengat.

Selama perjalananan, Pulau Penyengat yang mulai dibangun pada 1803 terlihat dari kejauhan. Ciri khas utamanya adalah Masjid Raya Sultan Riau berwarna kuning yang tampak mencolok.

Setelah mendarat di dermaga, masjid yang berdiri pada 1832 itu merupakan tujuan utama setelah menyusuri jalan kecil yang kiri kanannya berupa warung makan yang menawarkan ikan bakar. Masjid Raya Sultan Riau itu mungil tapi punya histori luar biasa. Masjid itu membuktikan imperium Riau yang telah berhubungan dengan dunia internasional, ditandai dengan pengiriman sekitar 2 kapal telur dari China.

Raja Chaidir, petugas masjid yang siap ditanya-tanya pengunjung menceritakan, telur itu dipisahkan antara putih dan kuningnya. Yang kuning untuk dimakan para pekerja pembangunan masjid, yang putih untuk bahan perekat pasir dan bata sebagai bahan baku utama bangunan.

Masjid itu juga menyimpan Alquran tulisan tangan yang indah yang diselesaikan seorang warga Penyengat yang dikirim ke Mesir untuk belajar agama Islam, Abdurahman Stambul, pada tahun 1867.

Setelah berkunjung ke masjid, rombongan dijamu dengan makanan khas Melayu yang serba sedap seperti opor ayam, ikan bulat pedas manis, cumi hitam, daun singkong rebus hingga opor nanas yang legit.

Kemudian disusul berkunjung ke kompleks makam. Makam yang nisannya dibalut kain warna kuning ini terdiri dari makam Raja Hamidah (Engku Putri), Permaisuri Sultan Mahmud Shah III Riau-Lingga (1760-1812), Raja Ahmad (penasihat Kerajaan), Raja Abdullah YDM Riau-Lingga IX, Raja Aisyah (Permaisuri), serta Raja Ali Haji (pujangga Kerajaan). Nama yang terakhir inilah yang kemudian dianugerahi gelar Bapak Bahasa dan Pahlawan Nasional. Terdapat juga makam-makam anggota kerajaan lainnya.

Di dalam kompleks makam juga terukir teks Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Karya yang diselesaikan pada 1847 itu berisi 12 pasal yang berisi petunjuk hidup agar diridhai Allah SWT. Berikit ini sedikit petikannya:

Ini gurindam pasal yang pertama
Barang siapa tiada memegang agama,


sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama


Barang siapa mengenal yang empat,


maka ia itulah orang ma'rifat


Barang siapa mengenal Allah,


suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.


Barang siapa mengenal diri,


maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari.


Barang siapa mengenal dunia,


tahulah ia barang yang terpedaya.


Barang siapa mengenal akhirat,


tahulah ia dunia mudarat.

Pada tahun 1900, Pulau Penyengat menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga. Warna kuning mendominasi di peninggalan di Kepri, karena warna kuning adalah warna kerajaan.

Masih banyak peninggalan sejarah di pulau seluas 2.000 meter persegi itu, sehingga pemerintah pernah mencalonkan Pulau Penyengat dan kompleks istananya ke UNESCO sebagai salah satu situs warisan dunia.

Pulau ini menjadi tujuan turis lokal, Singapura dan Malaysia. Turis bisa berkeliling ke spot-spot menarik di pulau ini cukup dengan naik becak-motor bertarif Rp 30 ribu. Becak-becak itu bisa dijumpai di sekitar pelabuhan atau masjid.

Jika Anda ingin napak tilas tentang sejarah bahasa Indonesia yang bermula dari kejayaan kerajaan Melayu di Kepri, maka Pulau Penyengat adalah tujuan utama yang harus Anda perhitungkan!

(nrl/ndr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads