"Ada putusan MK yang baru dikatakan PK diajukan tidak hanya sekali. Sekali saja masalah bagi kita untuk laksanakan putusan mati, apalagi ini lebih dari sekali. Pengajuan permohonan PK tanpa batasan waktu itu soalnya. Kita tersandera dengan putusan MK itu," ucap Prasetyo.
Hal itu dikatakan Prasetyo usai menghadiri acara penandatanganan surat edaran bersama upaya khusus pencapaian swasembada padi, jagung dan kedelai di Istana Wapres, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin (15/12/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Katakanlah dalam pengajuan PK ada batasan waktu. Grasi saja dibatasi 1 bulan, UU No 22 Tahun 2002 ada batasannya. Seperti grasi, itu dibatasi 1 bulan setelah inkrah. βMau 1 bulan atau 2 bulan, yang penting ada kepastian," ujarnya.
Selain tak adanya batasan waktu, PK yang bisa diajukan berulang itu menurut Prasetyo membuka peluang bagi para napi untuk mengulur waktu eksekusi. Kejaksaan tidak bisa melarang kerena hal tersebut merupakan hak narapidana.
"Kalau mereka bilang ada novum (bukti baru) ya kita tunggu. Ada laporan, sudah 2 kali yang bersangkutan ajukan PK. Kami kasih waktu 6 bulan, tapi dibilang nggak cukup. Terkesan mereka mengulur waktu. Itu hak mereka tapi masalah bagi kami," ucap mantan Jaksa Agung Muda Pidana Umum ini.
Maret 2014 lalu MK mengabulkan permohonan gugatan mantan ketua KPK Antasari Azhar agar PK bisa diajukan berkali-kali. Hal ini membuat narapidana yang memiliki bukti baru atas kasusnya bisa melakukan upaya hukum. Namun bagi Kejaksaan selaku eksekutor, putusan ini justru membuat kepastian hukum tak jelas. Sebab terpidana bisa terus melakukan upaya hukum tanpa ada batasan waktu.
Kejaksaan akhir tahun ini akan mengeksekusi terpidana mati. Dari puluhan narapidana, hanya sekitar 5 orang yang bisa dieksekusi. Sedangkan puluhan lainnya tak bisa diekesekusi karean masih menunggu hasil putusan PK atau grasi yang mereka ajukan.
(slm/nrl)