"Liberalisasi lebih tinggi daripada ekualisasi. Skor liberalisasi di kisaran 'sedang' menunjukkan struktur dan kekuatan otoritarian masih bertahan dalam sistem demokrasi Indonesia di 3 ranah (politik, ekonomi dan sipil)," kata Peneliti Puskapol UI Yolanda Panjaitan di Pasca Sarjana UI, Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (12/12/2014).
Hasil penelitian ini menunjukkan indeks demokrasi Indonesia tahun 2014 pada angka 5,79; untuk liberalisasi dari tingkat otonomi di 5,75; dan kompetisi 5,82 dalam skala 10,00. Sementara ekualisasi di angka 4,82 yang terdiri dari pluralisasi 4,71 dan solidaritas 5,47.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Liberalisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan otonom masyarakat, di berbagai sektor, dari negaranya. "Ini diperburuk dengan rendahnya skor ekualisasi yang menunjukkan sempitnya akses warga negara pada sumber daya politik, ekonomi dan sosial," ucap Yolanda.
Jika dibagi berdasarkan 3 bidang yang dikaji, liberalisasi pada ranah politik mengeluarkan skor 6,80 dan terdiri dari otonomi 7,64 serta kompetisi 6,24. Untuk ekualisasi di skor 6,63 terdiri dari pluralisasi 7,00 dan solidaritas 6,34.
"Secara umum skor di bidang politik yaitu 6,72 termasuk tertinggi dibanding bidang ekonomi dan masyarakat sipil," ucap Yolanda.
Ranah ekonomi, liberalisasi menuai skor 5,02 dari otonomi sebesar 4,94 dan kompetisi 5,09. Ekualisasi di ranah ekonomi berada pada angka 4,00 yang terdiri dari pluralisasi 2,88 dan solidaritas 4,80.
"Skor indeks ranah ekonomi stagnan pada skor 4,41. Prinsip liberalisasi dan ekualisasi yang paling rendah dibandingkan 2 bidang lainnya," pungkas Yolanda.
Dalam ranah masyarakat sipil, skor liberalisasi mencapai 5,32 dan ekualisasi di angka 4,88. Skor total untuk menunjukan demonopolisasi di ranah masyarakat sipil sebesar 5,15, yang artinya cenderung stagnan sejak 2011.
Penelitian ini menggunakan metodologi pengukuran univariat terhadap konsep demokrasi melalui wawancara 27 responden ahli menggunakan instrumen pengukuran berupa kuisioner dengan pertanyaan semi-tertutup. Range penilaian antara 0-10, indikator yang ditanyakan ahli sesuai bidangnya.
Proses pemilihan 27 ahli berdasarkan pada purposive sampling yang berbasis pada penentuan kategori dan kriteria tertentu untuk merepresentasikan spektrum ideologi, posisi dan peran di masyarakat. Pemilihan ahli ini juga ditentukan posisi ideologisnya dan perannya di masyarakat.
"Secara rinci 27 ahli terbagi sama jumlahnya ke 3 bidang (politik, ekonomi dan masyarakat sipil). Tiap bidang diberikan pertanyaan yang berbeda dan disesuaikan dengan keahliannya. Dari masing-masing bidang harus mewakili beragam posisi ideologis seperti pro demokrasi, anti demokrasi, neo liberal, statis, pluralis dan anti pluralis," tutup Yolanda.
(vid/rmd)