"Ambon Poso orang pikir karena masalah agama. Itu masalah politik. Itu karena the winner takes all," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sambutannya di acara Lokakarya Hari HAM sedunia di Hotel Sahid, Jl Sudirman, Jakpus, Rabu (10/12/2014).
JK mengatakan, masyarakat di Ambon dan Poso bisa hidup berdampingan selama puluhan tahun. Namun, kericuhan dimulai saat Pemilu 1998 karena jumlah warganya lebih banyak Muslim, maka partai Islam-lah yang berkuasa. Akibatnya, para kepala daerah dan pemangku jabatan banyak yang berasal dari umat Islam yang akhirnya membuat kehidupan di kedua wilayah itu jadi tidak seimbang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ini kemudian diperparah dengan memasukkan unsur SARA di dalamnya. Hal ini memacu warga yang tadinya hidup tenang menjadi pelaku kerusuhan.
"Kemudian agama diikutkan karena agama lebih mudah timbul emosinya apalagi masuk agama maka orang dibunuh dan membunuh sambil ketawa," ujar JK.
Menurut JK, kondisi ini diperkeruh karena adanya 'iming-iming' surga untuk warga yang terbunuh maupun yang membunuh. Pada masyarakat waktu itu, JK bersuara keras bahwa perang itu tidak akan membuat masyarakat masuk surga.
"Makanya konflik yang dibungkus agama cepat berkembang karena surga yang dipermainkan. Jangan iming-imingi surga. Ini karena pemimpin agama juga tidak peduli satu sama lain. Di sinilah fungsinya agama itu dimoderatkan," lanjutnya.
"Di Poso Ambon saya melihat mereka merasa saling dizalimi. Jadi kita ada aturan-aturan kemudian dilanggar. Bunuh tapi pikir jiwanya masuk surga," pungkasnya.
(bil/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini