Terpilihnya Suhartoyo Jadi Hakim Konstitusi Tak Senafas Semangat UUD 1945

Terpilihnya Suhartoyo Jadi Hakim Konstitusi Tak Senafas Semangat UUD 1945

- detikNews
Selasa, 09 Des 2014 08:29 WIB
Suhartoyo (dok.pt denpasar)
Jakarta - Hubungan Mahkamah Agung (MA)-Komisi Yudisial (KY) kembali memanas. MA memutuskan Suhartoyo sebagai hakim konstitusi tetapi KY menolak karena Suhartoyo dinilai mempunyai rekam jejak negatif.

"Terkait keberatan KY, haruslah dilihat dalam perspektif semangat KY untuk menjadikan MK sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang sangat strategis bagi tegaknya prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi tetap menjadi kekuasaan yang merdeka dan mampu menegakkan hukum dan keadilan," kata pakar hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Selasa (9/12/2014).

Catatan negatif Suhartoyo yaitu disebut-sebut tersangkut kasus lepasnya terpidana korupsi bernilai miliaran rupiah. Namun karena sudah setahun lebih kecurigaan itu tidak terbukti, MA tidak acuh dan tetap meloloskan Suhartoyo menjadi hakim konstitusi lewat wawancara tertutup yang dilakukan MA.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dengan begitu besar dan strategisnya wewenang MK UUD 1945 sampai harus mengatur persyaratan mengenai orang yang dapat menjadi hakim konstitusi," cetus pengajar Universitas Jember itu.

Dalam pasal 24C UUD 1945 ayat 5 menyatakan:

Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara

Sejarah kemudian membuktikan, memaknai Pasal 24C UUD 1945 dengan tidak benar terbukti membawa kerusakan luar biasa bagi MK. Yaitu saat Akil Mochtar tertangkap tangan oleh KPK karena menerima suap terkait penanganan perkara di MK. Akil menjadi hakim konstitusi periode keduanya direkrut tanpa melalui proses partisipatif dan transparan sesuai perintah UU MK.

"Pelajaran jatuhnya MK karena Akil Mochtar, seharusnya membuat Presiden, DPR dan MA sebagai 3 lembaga yang berhak mengajukan calon hakim konstitusi menjadi lebih berhati-hati dan sangat selektif dalam memilih hakim konstitusi. Kehatian-hatian dan keselektifan tersebut diwujudkan dengan benar-benar memperhatikan rekam jejak calon hakim MK yang bisa didapat dengan mendengar masukan banyak pihak salah satunya KY," tegas Bayu.

Menurut Bayu, dengan tidak ditindaklanjutinya masukan KY menunjukkan makna pastisipatif sebagai hanya dimaknai partisipatif secara formal dan bukan partisipatif secara substantif. Yakni ruang pemberian masukan masyarakat/lembaga lain memang dibuka seluas-luasnya sesuai perintah UU, namun masukan tersebut ternyata tidak mampu mempengaruhi keputusan yang diambil karena ternyata sejak awal sudah ada misi untuk mengegolkan calon tertentu.

"Kecenderungan tersebut jamak terjadi dalam pengambilan keputusan pemilihan pejabat publik di Indonesia saat ini termasuk dalam penetapan hakim MK oleh MA," pungkas Dr Bayu yang menulis buku berjudul 'Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia' ini.

(asp/rvk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads