Komisi Yudisial (KY) keberatan dengan pilihan Mahkamah Agung (MA) yang menunjuk Suhartoyo menjadi hakim konstitusi karena masih disidik KY terkait dugaan pelanggaran kode etik. Pilihan MA ini juga dipertanyakan mantan hakim konstitusi Harjono.
"Memangnya ada apa (hasil penyelidikan KY) ? Apa itu tidak jadi kriteria? (masukan dan penyidikan KY). Masuk atau tidaknya, atau masih jadi hambatan. Nantinya kasihan MK-nya," kata Harjono kepada detikcom, Minggu (7/12/2014).
Dalam rapat tertutup, MA memutuskan tidak memilih Ahmad Fadlil Sumadi, tetapi memilih Suhartoyo. Ahmad Fadlil merupakan panitera MK sebelum akhirnya menjadi hakim konstitusi 2010-2015 sehingga Ahmad Fadlil dinilai lebih layak dan mengerti seluk beluk MK dibanding Suhartoyo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suhartoyo pula yang menjadi ketua majelis terdakwa Irjen Djoko Susilo di tingkat pertama. Oleh palunya, Suhartoyo hanya menjatuhkan 10 tahun penjara dan tidak mencabut hak politik Djoko. Di tingkat banding, putusan Djoko dianulir dan dinaikkan menjadi 18 tahun penjara ditambah hak politiknya dicabut. Putusan itu dikuatkan oleh tingkat kasasi.
MA berkilah mengindahkan masukan KY karena mendasarkan pada penelusuran Badan Pengawas MA bahwa Suhartoyo clear. MA menghormati masukan dan saran dari masyarakat tentang masukan rekam jejak calon. Tetapi yang menentukan sepenuhnya siapa yang lolos adalah MA sendiri.
"Kalau rekomendasi, masukan dan masayarakat, ya namanya masukan. Masukan dari mana saja boleh. Kita nggak harus (mengikuti). KY memang tidak ikut pencaloan hakim konstitusi, ini dari MA. Itu (proses pencalonan hakim konstitusi) adalah kewenangan Mahkamah Agung," kata ketua pansel yang juga Wakil Ketua MA bidang Nonyudisial, Suwardi.
Tapi hal itu dinilai KY sebaliknya. Menurut KY, MA tidak boleh memandang sebelah mata masukan yang diberikan publik, termasuk KY.
"Mestinya tidak cukup data dari Bawas saja. Kok nggak memperhatikan catatan KY dan investigasi menyeluruh," ucap pimpinan KY, Imam Anshori Saleh.
(asp/fdn)