Kisah Hakim: Tamu di Rumah Sendiri hingga Beli Laptop dengan Uang Pribadi

Kisah Hakim: Tamu di Rumah Sendiri hingga Beli Laptop dengan Uang Pribadi

- detikNews
Minggu, 07 Des 2014 12:35 WIB
Djauhar Setyadi (memegang mikrophone)
Jakarta -

Suaranya tidak bisa menyembunyikan perasaan kegundahannya. Djauhar Setyadi bercerita saat pertama kali menginjakkan kaki di Kisaran, Sumatera Utara. Meski menjabat sebagai Wakil Ketua, ia harus wira-wiri untuk membeli barang guna mengisi rumah dinasnya.

"Rumah dinasnya kosong, tidak ada perabotan apa pun," kata Djauhar.

Hal itu disampaikan dalam Seminar 'Desain Status Hakim' di Hotel Atlet Century, Senayan akhir pekan ini. Kisah itu didapatnya saat ia dipindahkan dari PN Depok ke PN Kisaran pada pertengahan 2014 lalu. Alhasil, ia dan seorang pegawai honorer keliling pasar untuk membeli perabotan rumah, dari kasur, rak hingga alat keperluan mandi. Djauhar enggan membawa barang-barangnya di Depok karena jasa pengiriman terbilang mahal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau saya pakai jasa paket profesional biayanya Rp 25 juta," ujar Djauhar.

Pengalaman Djauhar juga dialami ribuan hakim lain di seluruh Indoesia. Mereka dipindahtugaskan tiap 3-5 tahun sekali dari satu daerah ke daerah lain. Meski disebut pejabat negara, para hakim itu harus merogoh kocek pribadi saat dipindahtugaskan. Djauhar masih teringat saat ia ditempatkan di pedalaman, ada seorang hakim yang tiba di NTT menumpang menginap di rumah penduduk.

"Langsung saya jemput. Miris sekali," kisah Djauhar.

Fakta di atas menjadi cerita miris seorang pejabat negara di rumahnya sendiri. Belum lagi hal-hal remeh-temeh lain seperti membeli laptop dari uang pribadi, ruang kerja yang tidak nyaman hingga supproting team yang masih lemah. Masalah kecil itu harus bersinggungan dengan hal-hal besar lain seperti pengamanan, kurangnya bea siswa belajar dan potensi contempt of court.

Cerita di atas merupakan cermin negara yang menempatkan hakim sebagai warga kelas dua. Menghadapi berbagai permasalahan di atas, mantan Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta ini mendesak segera dirumuskan secara jelas kedudukan hakim dalam sistem kenegaraan Indonesia.

"Pihak MA, KY, dan MK untuk duduk bersama membahas status para hakim secara serius, bukan secara pragmatis, tetapi juga dalam konteks kepentingan negara hukum Indonesia di masa mendatang," ujar Ansyahrul di tempat yang sama.

(asp/try)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads