Pagi hingga sore hari ini, Sabtu (6/12/2014) perpustakaan yang terletak di Jalan Suryodiningratan No 37C ini dipenuhi warga yang ingin membeli buku hingga mebel di dalam perpustakaan ini. Masing-masing orang minimal menenteng lima buah buku yang sudah dibendel oleh sang pengurus perpustakaan.
Salah satunya Nur Jatin Harjanto (65). Pensiunan karyawan Pabrik Tekstil di Yogyakarta ini mengaku merasa kehilangan dengan ditutupnya perpustakaan yang berdiri pada tahun 1969 ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya dengan sempitnya waktu yang tersedia bagi warga untuk membeli buku-buku tersebut, akibatnya banyak orang yang membeli secara emotional. Apalagi harganya murah. Sehingga belum tentu mereka membutuhkan atau mengerti dengan buku yang mereka beli.
"Ini untuk koleksi pribadi saja. Nanti jadi warisan untuk anak cucu," imbuhnya.
Tak hanya Nur, ada pula Totok Barata (52). Totok yang bekerja di sebuah lembaga kebudayaan di Bantul juga merasa sedih dan kehilangan.
"Saya inginnya jangan tutup karena Karta Pustaka adalah salah satu pusat kebudayaan. Dulu saat masih di Bintaran, banyak sekali pertunjukan seninya," kata Totok.
Dia berharap, pihak Karta Pustaka bisa memiliki data pembeli sehingga keberadaan buku-buku yang sudah terjual bisa dilacak.
"Tapi mungkin waktunya terlalu pendek, jadi tidak mudah," ujar Totok.
Sebagai pemerhati budaya, Totok tak mau ketinggalan berburu buku-buku di kesempatan kali ini. Dia mengaku sudah menghabiskan uang sekitar Rp 1,2 juta untuk lebih dari 50 eksemplar.
"Saya di rumah Jakarta memang punya perpustakaan pribadi. Ada ribuan jumlahnya," katanya.
Tak semuanya pulang dengan menggotong buku-buku hasil borongan. Salah seorang pengunjung tampak sibuk mencari-cari di tumpukan buku, bertanya ke petugas perpustakaan, dan keluar dari rumah bergaya klasik itu karena tak mendapat apa yang dia cari.
Hari Eko Ashari (22) namanya. Dia kerap menghabiskan waktunya di perpustakaan yang terletak di sebuah rumah bergaya klasik ini. Terutama saat dia menggarap skripsinya saat menyelesaikan Studi S1 nya di Jurusan Sejarah Universitas Yogyakarta (UNY). Skripsinya membahas soal sejarah kereta api di Yogyakarta.
β"Saya di sini nemu buku soal sejarah perusahaan kereta api Belanda, asli buatan perusahaan itu. Tapi tadi saya tanya sudah nggak ada," kata Hari dengan nada kecewa.
"Nggak beli, karena yang dicari nggak ada," imbuhnya.
Tak hanya pengunjung, salah seorang pria paruh baya yang bertugas sebagai pekerja rumah tangga di perpustakaan ituβ berusaha untuk tidak menunjukkan kekecewaannya. Sambil mengatur motor-motor para pengunjung, pria bernama Wasiran Isnen Dahyono (55) sempat berbincang dengan detikcom.
"Ya ini, mau nggak mau," ujar Wasiran.
Wasiran mengaku memiliki keterikatan kuat dengan perpustakaan ini. Apalagi sang ayah merupakan salah satu orang yang terlibat dalam pendirian perpustakaan Karta Pustaka.
"Saya ini makan nasi, nasinya Karta Pustaka. Sampai sekarang yang saya makan ya nasinya Karta Pustaka," ujarnya.
Dia bercerita, perpustakaan ini memiliki sejarah yang panjang hingga akhirnya harus mandeg dan tutup hari ini.
"Awalnya, di Kota Baru, terus pindah ke (Jalan) Jenderal Sudirman No 46 sampai tahun 90-an yang sekarang untuk BI, Kampung Krimargo Jalan Magelang, terus pindah ke (Jalan) Suroto No 5 Kotabaru, terus ke (Jalan suroto) No 1, Bintaran, nah sampai tutup di (Jalan) Suryodiningrata," cerita Wasiran.
(sip/spt)