βSaya tak pernah merasakan ada diskriminasi tuh. Justru yang pernah ingin menghambat adalah orang yang satu etnis dengan saya, tapi teman-teman dan atasan yang lain membela saya,β ungkap Harmin dalam acara bedah buku 'Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran' karya Iwan 'Ong' Santosa di Gedung Joang 45, Kamis (4/12).
Harmin yang saat ini masih mengajar di Universitas Pertahanan memastikan, seseorang yang diterima atau ditolak masuk TNI bukan karena alasan etnis atau agama. Tapi sepenuhnya karena kemampuan pribadi masing-masing. Ia mencontohkan, saat menjadi panitia seleksi penerimaan anggota TNI-AL, dia justru pernah tidak meluluskan calon dari etnis Tionghoa. Hal itu terjadi karena dari hasil uji kesehatan si pemuda bersangkutan memang kondisinya tidak prima.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diskriminasi yang masih terasa kental terjadi justru datang dari luar lingkungan TNI, dari masyarakat. Ia mencontohkan, saat dirinya datang ke kawasan Glodok dengan berseragam militer dan pistol di pinggang, justru orang-orang di sana seperti melihat barang langka.
βSaya datang ke Glodok, orang-orang pada melotot dan bisik-bisik. Mereka melihat saya seperti barang langka,β ujarnya disambut tawa hadirin.
Kepada Detik, Harmin menjelaskan dirinya masuk TNI-AL lewat jalur wajib militer sebagai seorang dokter. Ia seangkatan dengan Laksamana Agus Suhartono, mantan Panglima TNI, yang masuk lewat jalur Akademi Militer. Meski lewat jalur wamil, dirinya juga memiliki kemampuan kualifikasi raiders. βSaya ikut operasi ke berbagai daerah termasuk Timor Timur,β ujar Harmin.
Selama berkarir di TNI-AL dia pernah menjadi Komandan Peleton, Kompi, hingga Batalyon, dan terakhir Kepala Dinas Kesehatan. Di bidang keilmuan, Harmin melengkapinya dengan mengambil spesialisasi bedah, dokter kelautan, dan doktor ilmu kelautan.
βJadi, generasi muda Tionghoa itu tak usah ragu masuk TNI bila punya kemampuan,β harapnya.
(alx/erd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini