Busrin dinyatakan melanggar Pasal 35 huruf e, f dan g UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Terkecil jo Pasal 73. Ancaman pelanggar pasal ini minimal 2 tahun penjara dan maksimal 10 tahun penjara serta denda minimal Rp 2 miliar dan maksimal Rp 10 miliar.
"Kalau dilihat dari ancaman denda, pasal ini seharusnya diterapkan kepada perusak lingkungan serius atau korporasi, bukan kepada perorangan seperti Busrin. Majelis hakim tidak bisa membedakan antara pelaku skala besar dan kecil. Semua yang melanggar disamaratakan," kata penggiat lingkungan, Slamet Daroyni, saat berbincang dengan detikcom, Minggu (23/11/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; menebang, melakukan konversi ekosistem mangrove di kawasan atau zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, permukiman, dan/atau kegiatan lain.
Karena dinilai melanggar pasal di atas, maka Busrin dikenakan ancaman pidana minimal 2 tahun penjara sebagaimana yang tertuang dalam pasal 73, yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar setiap orang yang dengan sengaja menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove, melakukan konversi ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g.
"Mengapa kasus besar tidak disentuh? Kami melakukan pendampingan di Sumatera Utara yaitu hutan mangrove diubah menjadi lahan kebun kelapa sawit. Di sini, rasa keadilan itu tidak ada," ujar koordinator pendidikan dan penguatan jaringan LSM Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) itu.
Di Sumatera Utara, hutan mangrove yang diubah peruntukannya seluas 1.300 hektare menjadi lahan sawit. Slamet juga mencontohkan Jakarta yang mengalihfungsikan hutan mangrove seluas 831 hektare dengan mereklamasi dan menjadikannya lahan pemukiman.
"Kasus ini adalah kasus kebijakan," tegas Slamet.
Alhasil, majelis hakim dinilai hanya memakai kacamata kuda dalam menangani kasus itu. Sebab Busrin merupakan korban kemiskinan terstruktural, bukan karena niat mengekplorasi alam.
"Dalam putusan ini, sisi human tidak dilihat oleh hakim," pungkas mantan Direktur Walhi itu.
(asp/trq)