"Komnas Perempuan menyerukan agar Kapolri segera mengeluarkan kebijakan tertulis untuk memastikan tidak ada toleransi terhadap praktik tes keperawanan," tulis Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah dalam siaran pers yang diterima detikcom, Jumat (21/11/2014).
Tes keperawanan ini dinilai Komnas Perempuan menjadi praktik diskriminatif karena dilatari oleh prasangka berbasis gender yang merendahkan perempuan. Yuniyanti juga menyebut bawa tes tersebut tidak memiliki kemanfaatan medis untuk menentukan kondisi kesehatan seseorang, melainlan lebih lekat pada prasangka mengenai moralitas perempuan dan dapat menimbulkan trauma bagi yang mengalaminya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Stigma ini semakin kuat terutama di kalangan yang kurang memiliki kepekaan dan empati kepada perempuan korban perkosaan dan eksploitasi seksual. Budaya menghakimi moralitas dan perempuan korban kekerasan seksual dalam konteks ini mengemuka dalam perbedaan pernyataan di tubuh kepolisian ketika dihadapkan dengan pertanyaan tentang tes keperawanan," imbuhnya.
Membiarkan praktik diskriminatif sepeti tes keperawanan ini disebut Yuniyanti sebagai pengingkaran jaminan konstitusi pada hak warga negara.
"Sebab budaya penghakiman moralitas dapat memutus akses pekerjaan bagi perempuan korban kekerasan seksual, tes ini juga berpotensi melanggar Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28D Ayat 2 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tes serupa hampir tidak mungkin dilakukan terhadap laki-laki, baik karena anatomi tubuhnya maupun karena secara sosiologis simbol kesucian dibebankan kepada perempuan, bukan laki-laki," papar Yuniyanti.
Tak hanya bagi Polri, Komnas Perempuan juga meminta agar institusi lain yang memberlakukan Tes Keperawanan untuk segera menghentikannya. Termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) jika sama seperti Polri, melakukan tes keperawanan bagi calon prajurit perempuannya.
"Kebijakan ini juga perlu diambil oleh berbagai institusi lainnya, termasuk Tentara Nasional Indonesia, jika masih melangsungkan praktik serupa. Untuk mendukung upaya penyikapan tertulis Kapolri, Komnas Perempuan bersedia untuk berkoordinasi lebih lanjut," tegas Yuniyanti.
Komnas Perempuan juga mendorong agar berbagai institusi pemerintah yang berkaitan dengan permasalahan ini untuk segera mengambil sikap untuk melakukan koordinasi yang memastikan petugas medis dan pejabat publik tidak mendukung atau bahkan terlibat dalam praktik diskriminatif tersebut.
Yuniyanti juga menyatakan bahwa Komnas Perempuan bersedia berkoordinasi dengan Kemendikbud untuk memastikan integrasi pemahaman keadilan gender dalam kurikulum pendidikan nasional.
Sementara itu Polri sendiri menyatakan tes keperawanan dilakukan sebagai bagian dalam tes kesehatan calon anggota polisi. Polri membantah bahwa tes keperawanan dilakukan sebagai standar kelulusan. Calon polisi pria juga disebut mendapat tes yang sama.
"Nggak ada istilah nggak lulus karena enggak perawan. Cuma ada gradasi penilaian terhadap item yang dilakukan. Buah zakar harus kita pegang, ada kelainan atau tidak, kalau mengidap hernia dia akan sulit jalan dan turun bero," ungkap Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Brigjen Arthur Tampi di Jakarta, Jumat (21/11).
Berbeda dengan Arthur, Kepala Divisi Hukum Polri Irjen Pol Drs Moechigiyarto membenarkan adanya tes keperawanan, dan tes itu dilakukan sebagai rambu moral calon anggota kepolisian.
"Betul, itu terjadi. Sudah dari dulu. Aturan itu udah dari dulu begitu. Soal track record, soal kualitas keperawanan. Ini soal moral, kita tidak mau ada bibit yang tidak baik. Pertanyaan kita, kalau dia nggak perawan dan PSK (Pekerja Seks Komersil), masa mau diterima jadi polisi. Apa saya melanggar gender? kan moral itu," ujar Moechigiyarto dalam diskusi Komisi Indonesia Nasional di Gedung Puri Imperium Office Plaza, Kuningan, Jaksel, Rabu (19/11).
(ear/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini