Salim Said yang pernah melakukan penelitian mengenai perfilman, mengkritisi kondisi perfilman di Indonesia saat ini. Menurutnya, perfilman di Indonesia sangat minim kualitas. Industri perfilman saat ini, menurutnya, lebih banyak dijadikan komoditi dagang dan bukan sebagai media ekspresi.
Salim yang telah menyabet berbagai penghargaan ini juga melakukan penelitian tentang militer di Indonesia. Pada zaman orde baru, peran militer di Indonesia sangat mendominasi dan hampir mengontrol semua sektor kehidupan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari hasil penelitiannya, Salim menyimpulkan bahwa militer di Indonesia bukan ciptaan kolonial dan politik, namun ciptaan pemuda Indonesia. Mereka membangun kekuatannya dengan beramai-ramai merebut senjata dari tentara Jepang yang telah kalah dari Sekutu.
"Poin kedua, di bawah pimpinan Jenderal Sudirman, tentara berusaha menjaga otonomi mereka, terbebas dari pengaruh kekuatan dan kelompok politik yang bertarung berkepanjangan," ujarnya.
Hasil penelitiannya mengenai dominasi militer tersebut membuatnya berkesempatan mendapatkan pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu lembaga yang memfasilitasinya adalah The Habibie Center.
Sementara Norbertus Riantiarno lebih fokus pada ilmu budaya. Pendiri Teater Koma ini telah mendedikasikan kehidupannya untuk budaya dan seni.
Bagi Norbertus, kesenian adalah wujud ekspresi terima kasih kepada alam dan kehidupan, serta wujud menghormati sejarah. Untuk itulah, ia terjun dalam bidang seni budaya sejak 48 tahun yang lalu .
"Dan berdasarkan itulah, pada 1 Maret 1977, saya dirikan Teater Koma di Jakarta," ujarnya.
Meski sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia seni budaya serta telah banyak menerima penghargaan dari berbagai lembaga, Norbertus mengaku belum puas dengan kiprahnya selama ini. Ia masih merasa harus terus berbuat dan menciptakan sesuatu yang baru. Apalagi peran pemerintah dalam bidang sosial budaya menurutnya masih minim.
"Sepanjang sejarahnya, apa boleh buat, teater memang masih bernasib malang. Banyak hal yang menggoda sehingga orang teater pergi ke film dan televisi, dan kami hanya bisa diam saja," tuturnya.
Ia sangat berterimakasih ketika The Habibie Center memberikan awards ini kepadanya. Menurutnya, tak banyak lembaga yang akan memberikan penghargaan bagi budayawan seperti dirinya.
"Ini hadiah yang luar biasa. Yayasan mana lagi yang mau memberikan hadiah itu, sementara pemerintah sama sekali tidak membantu," tutupnya.
(kff/vid)