"Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan," bunyi Pasal 64 ayat 5 dalam UU No 24 Tahun 2013.
UU ini mengatur tentang administrasi kependudukan masyarakat Indonesia dan merupakan perubahan dari UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Beberapa hal yang direvisi yakni masa berlaku KTP yang dari 5 tahun menjadi seumur hidup dan pemberlakukan KTP elektronik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, soal pengosongan kolom agama untuk kepercayaan di luar 6 agama itu sudah diatur dalam UU 23 Tahun 2006 sebelum direvisi menjadi UU yang baru dan berlaku saat ini. Baik pada UU 24/2013 dan UU 23/2006 aturannya diatur dalam pasal 64 soal data-data yang harus ada dalam KTP seseorang.
Bedanya, pada UU 23/2006 aturan pengosongan agama ini di ayat 2 setelah pengaturan elemen yang dicantumkan pada KTP. Kalau di UU 24/2014, aturan pengosongan kolom ini ada di ayat 5 setelah penjelasan mengenai KTP elektronik.
Meski sudah diatur sejak UU 23/2006 berlaku, polemik kolom agama seakan tak pernah selesai. Pernah ada wacana penghilangan kolom karena dinilai mendiskriminasikan kepercayaan yang belum diakui namun wacana itu akhirnya meredup.
Kini, perdebatan soal pengosongan di kolom agama KTP kembali muncul dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang membolehkan kolom agama dikosongkan karena diatur dalam UU. Ia mengaku kerap mendapat keluhan tentang penganut kepercayaan yang dipaksa untuk memilih salah satu agama saat mendaftar KTP elektronik atau tidak diberi kesempatan membuat KTP oleh Pemda setempat. Ia pun memerintahkan pada bawahannya untuk mengkaji dengan beberapa organisasi agama dan tokoh-tokoh untuk mencari solusi terbaik soal pengosongan kolom ini.
(bil/nrl)