Suku-suku di Papua masih patuh terhadap adat istiadat yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Segala permasalahan yang terjadi selalu diselesaikan dengan cara adat yang berlaku di masing-masing kelompok. Pun ketika kisruh Pemilukada beberapa waktu lalu di Kabupaten Puncak, Papua, yang menyebabkan perpecahan.
Merupakan sebuah tradisi ketika usai perang, masyarakat harus berdamai untuk mendapatkan satu titik temu dengan menyamakan persepsi. Cara yang digunakan untuk penyelesaian masalah itu biasanya menggunakan upacara perdamaian bakar batu dengan mengorbankan babi.
Ketika detikcom menyambangi Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, Jumat (7/11/2014), upacara yang sedianya digelar, menjadi tertunda karena masih ada masalah adat yang belum selesai. Namun bukan berarti gencatan senjata usai dan kembali menabuh genderang perang. Proses perdamaian tetap dilanjutkan meski waktu upacara harus digeser beberapa hari ke depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baik laki-laki, perempuan, orang tua, maupun anak kecil berlarian dengan bentuk lingkaran di tengah lapangan. Dengan satu komando, mereka kemudian menari dengan menjejakkan kaki ke tanah berulang kali. Tarian ini disebut Wasisi sebagai salah satu prosesi adat.
Beberapa kali, ratusan orang itu berlari mengitari lapangan dan sesekali berhenti serta bernyanyi. Para kepala perang membawa busur serta panah dan memimpin kelompoknya. Mereka kemudian duduk di sisi-sisi lapangan untuk kemudian berdiskusi mencapai kesepakatan untuk perdamaian.
Sementara itu di pojokan lapanganβ, ratusan babi yang nantinya akan dipotong serta dimasak dengan cara bakar batu telah disiapkan. Sayangnya, acara bakar batu dan makan bersama itu diundur pada hari yang nantinya akan disepakati.
"Dengan adanya rekonsiliasi, harapan masyarakat mendukung kita kita bangun Kabupaten Puncak dengan aman dan damai, damai sebagai pemerintah daerah," ucap Bupati Puncak Willem Wandik yang juga hadir di lokasi.
Saat itu, diskusi antar kelompok telah dimulai ketika para kepala suku menyampaikan pendapatnya. Suara mereka kencang karena memang berasal dari pegunungan. Suku-suku pegunungan Papua memang biasa berkomunikasi langsung sehingga suara mereka terdengar keras dan lantang.
Tak berapa lama, perwakilan dari masing-masing kelompok mendekat dan bersalaman. Air mata pun berjatuhan dari raut wajah orang Papua yang terkesan keras dan liat itu. Suasana haru menyelimuti dan membuat siapapun yang ikut bersama di dalamnya juga ikut terharu.
(dha/fdn)