Terlalu banyak jalur tikus yang bisa digunakan TKI masuk ke Malaysia secara ilegal. Namun salah satu yang populer adalah Sungai Nyamuk-Pelabuhan Batu-Batu. Saking ramainya jalur ini, kadang dibilang 'jalur sutera'. Mengapa?
Seorang staf Konsulat RI di Tawau, Afsar, Jumat (7/11/2014), menyatakan kekesalannya. Ia mendapati seorang TKI yang telah dideportasi tiba-tiba nongol di Tawau. TKI itu apes ketangkap lagi dan kembali dideportasi ke Nunukan, tapi tidak sampai dua hari ia sudah kembali ke Malaysia dengan nama lain.
"Jadi TKI yang di sini itu kemungkinan besar adalah orang-orang yang pernah dideportasi," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, tidak semua pulang kampung. Tapi diam-diam kembali ke Sabah, Malaysia. Mereka kembali melalui orang yang suka mengaku saudara, yang tak lain calo tenaga kerja.
Lalu bagaimana jalur balik ke Tawau? Pertama, sang TKI bisa memesan ferry dari Nunukan ke Pelabuhan Tawau dengan ongkos kisaran Rp 150 ribu. Bila jalur ini yang ditempuh, maka TKI harus sudah dilengkapi dokumen resmi.
Bagaimana bila tidak mau keluar uang untuk dokumen resmi? Mereka dapat segera naik angkutan dari Nunukan ke Bambangan dengan ongkos Rp 50 ribu. Dari situ, yang bersangkutan lalu menyeberang ke salah satu wilayah Malaysia di Pulau Sebatik yang disebut Sungai Nyamuk dengan tiket Rp 70 ribu. Kemudian dengan kapal kayu (bertarif Rp 100 ribu atau 30 RM) mereka melenggang ke Pelabuhan Batu-Batu.
Jalur Sungai Nyamuk ke Batu-Batu bisa dikatakan sebagai jalur sutera. Sebab ketika berangkat dari Sebatik pada dasarnya kapal kayu tersebut sudah berada di wilayah Malaysia sehingga ketika menyeberang menuju Batu-Batu jarang mengalami pemeriksaan.
Lain lagi kalau berangkat dari Sungai Nyamuk wilayah Indonesia. Walaupun hanya 15 menit menuju Batu-Batu, namun kapal patroli Indonesia dan Diraja Malaysia banyak berjaga dan sang kapten kapal harus melapor sana-sini. Walaupun begitu, kadang penjagaan di sana, khususnya malam hari, juga tidak ketat.
Salah satu penyebab 'kebocoran' ini adalah sangat longgarnya perbatasan laut maupun darat di Pulau Sebatik yang membuat pergerakan manusia sangat leluasa. Selain itu, di wilayah paling terdepan Indonesia tersebut, khususnya di Sungai Nyamuk, tidak terlihat kantor imigrasi.
Yang ada di sana hanyalah pos Polsek dengan kekuatan kurang dari 10 personel. Padahal luas cakupan wilayah yang harus dijaga adalah seperempat pulau dengan kisaran 30 ribu penduduk.
"Saya kira, kalau ada kantor imigrasi di sini keadaan akan menjadi lebih baik. Apalagi kalau personel kami ditambah," ujar seorang polisi yang setengah bangunan kantornya masih berdinding triplek.
Di masa Pemerintahan baru Indonesia yang berjanji memberikan perhatian lebih dalam soal maritim diharapkan segera memperhatikan hal-hal diatas.
(vid/vid)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini