"Momen paling mengesankan bagi saya adalah ketika mendapatkan penghargaan sebagai Outstanding Delegate. Itu adalah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada delegasi, dan hanya sedikit delegasi terpilih yang menerimanya," kata salah satu anggota delegasi, Chandra Anwar, dalam perbincangan bersama detikcom di Washington DC, AS, Senin (3/11/2014).
Simulasi sidang National Model United Nations (NMUN) tersebut telah diselenggarakan secara rutin selama 45 tahun. Forum itu menjadi wadah bagi mahasiswa dari berbagai penjuru dunia untuk berdebat mengenai isu-isu global seperti keamanan, pembangunan, imigrasi, kesehatan, dan lingkungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Swis berbeda dari Indonesia dalam berbagai hal, misalnya sistem hukum dan posisinya dalam suatu isu. Kami harus mempersiapkan semuanya, termasuk melakukan riset mengenai posisi Swis dan bertemu dengan orang-orang dari Kedutaan Besar Swiss," ujar Chanda.
Bagi Chandra sendiri, sidang kali ini bukanlah pertama kali. Sebelumnya, mahasiswa Fakultas Hukum semester 5 ini sudah 4 kali ke luar negeri untuk mengikuti sidang serupa, yaitu di Australia, Malaysia, Inggris, dan Singapura. Namun pengalaman di Washington DC ini lain dari pada yang lain.
"Sidang di Washington DC berbeda dari yang sebelum-sebelumnya karena di sini kita menggunakan prosedur sidang sesuai dengan standar PBB. Sementara sidang-sidang yang saya ikuti sebelumnya menggunakan standar Harvard. Standar PBB lebih riil karena sesuai dengan praktik di lapangan," terang Chandra.
Lain dengan Chandra, sidang kali ini adalah yang pertama kali bagi Ratu Vashti Annisa. Mahasiswi semester 3 jurusan Ilmu Komunikasi ini mengaku memperoleh pengalaman yang luar biasa dari kegiatan tersebut. Selain berinteraksi dengan delegasi lain dari berbagai negara, dia juga merasakan bagaimana sulitnya melakukan negosiasi.
"Hal yang paling menantang dari negosiasi adalah bagaimana mengusahakan agar ide kita diterima dan dimasukkan ke dalam resolusi. Kita harus bisa mengemas ide kita sedemikian rupa dan meyakinkan pihak lain bahwa mereka juga akan memperoleh manfaat dari ide kita," tutur Vashti.
Karena itulah, pengadopsian resolusi menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Gagal dan berhasilnya negosiasi akan terlihat dari resolusi yang dihasilkan dalam sidang. Jika ide yang diperjuangkan masuk ke dalam resolusi, berarti negosiasi membuahkan hasil.
"Pengadopsian revolusi adalah momen yang sangat menegangkan. Saya berdebar-debar, takut ide kita tidak masuk ke dalam resolusi. Makanya waktu tahu ide kita diterima rasanya seneng banget," kata juara harapan 1 None Jakarta 2014 ini dengan antusias.
Kiprah para mahasiswa Indonesia di luar negeri ini tentunya merupakan bekal yang sangat bagus buat mereka di kemudian hari. Selain itu, mereka juga sudah turut berperan dalam diplomasi Indonesia.
"Diplomasi zaman sekarang kan multi-jalur. Mahasiswa seperti mereka dapat berperan lewat forum-forum sepert ini. Apalagi mereka berprestasi dengan mendapatkan penghargaan," kata Duta Besar RI di Washington DC Budi Bowoleksono atau yang akrab disapa Dubes Sonny.
Forum seperti itu, imbuhnya, menjadi ajang yang sangat bagus bagi mahasiswa untuk memahami isu-isu global yang berkembang saat ini sekaligus membangun jaringan internasional. Meskipun, kata dia, mereka harus selektif memilih forum yang tepat karena ada juga forum serupa yang hanya menjadi ajang bagi mahasiswa kaya untuk berplesiran ke luar negeri.
"Kalau forum yang di Washington DC ini memang berkualitas, dan delegasi dari Indonesia menyiapkannya secara serius. Harapan kita, mereka bisa menularkan pengetahuan dan pengalaman ini kepada rekan-rekan sejawatnya," ujar mantan Sekjen Kementerian Luar Negeri ini.
(try/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini