Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mempunyai PR mendesak untuk segera diselesaikan. Tidak hanya masalah kapasitas lapas atau rutan, tetapi berbagai regulasi usang yang sangat merugikan hak-hak asasi warga negara.
Dalam catatan detikcom, Selasa (28/10/2014), aturan usang itu seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Dalam aturan itu, korban peradilan sesat maksimal hanya diberi ganti rugi oleh negara sebesar Rp 1 juta.
Salah satu contoh korbannya adalah Sri Mulyati yang harus mendekam 13 bulan di penjara tanpa kesalahan dan Krisbayudi yang disiksa aparat Polda Metro Jaya dengan tuduhan pembunuhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PR mendesak Yasonna lainnya yaitu membuat Peraturan Pemerintah (PP) tentang diversi anak sesuai amanat UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Setelah dua tahun diundangkan pada 2012 hingga Presiden SBY selesai menjabat, PP diversi anak belum juga dibuat.
Tidak mau kecolongan, Mahkamah Agung (MA) mengesahkan peraturan mediasi (diversi) hukum acara peradilan anak yang bertujuan untuk mencapai keadilan restoratif. Setiap anak yang berhadapan dengan hukum sedapatnya dihindari dari pidana penjara dan proses pengadilan yang panjang yang bisa mengakibatkan trauma pada anak.
"Dinamakan diversi itu memang karena dialihkan dari proses pengadilan yang panjang, tiba-tiba harus dilakukan upaya damai. Tujuannya untuk mencapai keadilan restoratif. Keadilan restoratif itu adalah keadilan yang seadil-adilnya, mementingkan kepentingan pelaku korban dan masyarakat," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur.
Tidak hanya itu, sebagai menteri baru, Yasonna juga memiliki tugas supaya kasus pencurian sandal jepit tidak terulang yaitu dengan merevisi batas minimal pencurian ringan dalam KUHP. Kasus pencurian sandal jepit ini terjadi pada pergantian tahun 2011-2012 yang menyedot perhatian dunia.
Untuk mencegah kasus ini terulang, MA telah mengeluarkan kebijakan pencurian ringan di bawah Rp 2,5 juta tidak perlu ditahan. Dalam Peraturan MA (Perma) No 2/2012, MA juga melarang 5 tindak pidana lain untuk ditahan asalkan kerugiannya tidak melebihi batas kewajaran.
Sayang, hingga pemerintahan SBY berakhir, Menkumham selaku corong hukum pemerintah belum merevisi KUHP soal batas minimal pencurian ringan.
"Sandal jepit harganya berapa? Rp 1.000 atau Rp 2.000? Padahal yang dikategorikan tindak pidana ringan yang dibawah Rp 250. Nah inilah yang yang semestinya direspons oleh DPR dan pemerintah tetapi tidak sungguh-sungguh. Akhirnya yang jadi korban pengadilan," kata Ketua MA, Harifin Tumpa pada 29 Februari 2012.
Pekerjaan yang harus segera diselsaikan Yasonna juga menyangkut sistem peradilan tilang. Dengan sistem yang ada sekarang, proses peradilan tilang ruwet, banyak calo dan tidak tertib. Yosanna harus bisa mendesain regulasi tilang yang tepat sasaran. Bahkan Ketua MA Hatta Ali mengusulkan tilang tidak perlu sampai ke pengadilan.
Terakhir, meski menuai pro-kontra, Menkumham juga mempunyai PR berat dalam menggolkan RUU KUHP/KUHAP. KUHP merupakan hukum peninggalan penjajahan Belanda yang telah berusia satu abad lebih tapi masih diberlakukan, meski Indonesia telah merdeka. Adapun KUHAP, mempunyai celah di sana-sini untuk direvisi.
(asp/fdn)