Dalam ritual topo bisu mubeng beteng ini, warga dilarang berbicara, makan, minum, atau menggunakan handphone dan hal-hal lainya yang bisa mengganggu ritual. Warga melakukan mubeng beteng sejauh sekitar 5-6 Kilometer. Prosesi ini diawali dari dari Bangsal Ponconiti, Keben, Keraton Ngayogyakarta tepat pada pukul 24.00 WIB. Dari Keben kemudian berjalan melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, Pojok Beteng Kulon, Jalan Letjen MT Haryono, Jalan Mayjen Sutoyo, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan berakhir di alun-alun Utara.
Warga yang mengikuti ritual ini, tidak hanya berasal dari DIY namun juga banyak dari wilayah Jawa Tengah dan daerah lain. Sadiyono (63), warga Mojosongo, Boyolali mengatakan datang bersama rombongan berniat mengikuti mubeng beteng. Ia melakukanya untuk berdoa pada yang maha kuasa agar diberi kelancaran dalam mencapai tujuan hidup.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ribuan warga yang mengikuti ritual ini dilepas oleh kerabat Keraton Yogyakarta GBPH Prabukusumo. GBPH Prabukusumo berpesan kepada warga agar selama perjalanan menjaga ketertiban, tidak tergesa-gesa, karena kegiatan ini bukan sekadar berjalan biasa. Selama berjalan warga diminta untuk terus berdoa kepada Tuhan.
"Meminta untuk keselamatan negara Indonesia, untuk keselamatan Presiden dan Wapres, keselamatan Sultan dan keluarga dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia, dan meminta berkah dan lindungan dari Allah SWT," kata GBPH Prabukusumo.
Sebelum prosesi mubeng beteng ini dimulai, dilakukan pembacaan macapat atau kidung bahasa Jawa. Kidung tersebut diantaranya kidung dandang gulo, kidung kinanti, kidung gambuh dan lainya. Kidung yang dibacakan ini intinya adalah pituduh atau penuntun untuk mengingatkan bagi yang hidup.
(rmd/rmd)