Pras, sapaan akrab Prasetiono, memulai profesi sebagai guru olahraga SD sejak tahun 2005, saat usianya menginjak 35 tahun. Ia mengaku ditawari oleh rekannya yang telah lebih dahulu menjadi guru honorer. Kala itu Pras masih menjadi petani.
"Dulu saya itu sangat tertarik, karena katanya kalau saya sudah mengabdi, lalu saya kuliah, pasti diangkat jadi PNS," kata Pras di depan Istana Negara, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi ternyata aturannya berubah, harus S1. Lalu saya sekolah lagi," ujarnya.
Usai menamatkan S1 nya beberapa tahun yang lalu, Pras masih belum diangkat juga sebagai PNS. Ia mengaku telah mengajukan berkas-berkas pengangkatan, namun belum juga lolos. Gajinya saat ini hanya Rp 200 ribu per bulan. Jauh di bawah UMR Malang.
"Saya mengalami gaji dari Rp 50 ribu sampai sekarang Rp 200 ribu. Untungnya saya belum berkeluarga. Kalau sudah berkeluarga, mumet rek (pusing)," kata pria yang mengenakan seragam batik PGRI warna putih, celana hitam dan sepatu olahraga ini.
Untuk menambah penghasilannya, Pras bertani salak dan kopi. Penghasilannya dari panen salak, jauh lebih besar dari penghasilan sebagai guru honorer. Sekali panen salak, Pras bisa meraup sekitar Rp 600 ribu.
"Kami ini, pegawai honorer K2, cuma ingin pemerintah beri payung hukum. Itu saja. Pengangkatannya bertahap, nggakpapa kok. Yang penting ada kejelasan," tutur Pras.
K2 atau kategori 2 adalah pegawai honorer yang datanya telah tercatat di kecamatan hingga pusat. Selain Pras, banyak ribuan pegawai honorer lainnya yang mengalami nasib serupa.
"Di Malang, banyak guru honorer yang usianya hampir usia 60 tahun. Kasihan kan? Padahal profesi kami ini penting," keluhnya.
(kff/aws)