Lahirnya perjanjian Helsinki diikuti dengan penetapan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam rangka menyelesaikan masalah atau konflik sosial di kalangan masyarakat, Pemerintahan SBY juga membentuk lembaga-lembaga dialog. Antara lain pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Presiden SBY juga memfasilitasi pembentukan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), pembentukan Komunitas Intelijen Daerah (KOMINDA) dan Forum Pembaruan Kebangsaan (FPK).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut buku Pencapaian Kinerja Pembangunan KIB I (2004-2009) dan KIB II (2009-2014) yang disusun Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, semua langkah yang dilakukan SBY itu dilakukan agar terjadi kedamaian di Bumi Aceh.
Proses terwujudnya MoU Helsinki sebenarnya telah dirintis sejak tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun proses perundingan soft power yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC) hanya melahirkan Jeda Kemanusiaan I dan II (Joint Understanding on Humanitarian Pause For Aceh), serta Moratorium Konflik yang ditandatangani pada 12 Mei 2000 di Jenewa, Swiss.
Jeda Kemanusiaan berakhir pada 15 Januari 2001, namun kedamaian tak kunjung tercipta di Aceh. Konflik malah kian keras terjadi.
Upaya mewujudkan Aceh yang damai kemudian diupayakan di zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Tepatnya pada 9 Desember 2002, diadakan perundingan CoHA (Cessation of Hostilities Agreement) atau Perjanjian Penghentian Permusuhan di Jenewa, Swiss.
Perundingan yang juga difasilitasi HDC ini mendapat dukungan dari banyak negara, seperti Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Thailand, Denmark, Prancis, Australia, Qatar, Malaysia, Inggris, Filipina, dan Swedia.
Sayang aneka perundingan yang digelar tak juga berhasil menghentikan konflik di Aceh. Barulah kemudian tanggal 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang dimediasi Crisis Management Initiative (CMI) mencapai kesepakatan damai.
(erd/nrl)