Perempuan itu menggerakkan tangannya ke sana kemari dengan lincah. Boneka wayang yang dipegangnya mengikuti setiap gerakan yang dia lakukan: naik, turun, ke kanan, ke kiri, maju, mundur. Setiap gerakan disertai dengan cerita yang mengalir dengan suara berubah-ubah sesuai peran yang sedang dibawakan. Di sekelilingnya duduk delapan pemusik dan satu pesinden yang sesekali menyela cerita dengan tembang berbahasa Sunda.
Dia adalah Kathy Foley, dalang asal Amerika Serikat yang juga profesor di University of California, Santa Cruz. Telah puluhan tahun Kathy menggeluti dunia perwayangan. Disertasi doktoralnya di University of Hawaii tahun 1979 berjudul “The Sundanese Wayang Golek.”
Hari itu, Sabtu (4/10/2014), bertempat di Freer Gallery of Art yang merupakan bagian dari Smithsonian Museum, Washington DC, AS, Kathy mementaskan wayang golek dengan membawakan kisah “Lahirnya Hanuman Sang Jenderal Kera.” Kepada penonton yang mayoritas warga Amerika, Kathy menjabarkan mengenai suasana pertunjukan wayang yang sebenarnya. Tidak seperti di Gallery yang memiliki tempat duduk tertata rapi layaknya bioskop dan para penonton duduk manis dari awal hingga pertunjukan, pementasan wayang yang sesungguhnya di Indonesia dilangsungkan dalam suasana hiruk pikuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tampak betul bagaimana Kathy menguasai dan menghayati dunia perwayangan. Di tangannya, boneka-boneka kecil itu berubah jadi aktor-aktor yang memainkan peran penting dalam sebuah kisah yang telah diturunkan selama ratusan tahun dari generasi ke generasi: Ramayana. Hanuman adalah tokoh kera sakti pembela kebajikan yang membantu Rama mengalahkan Rahwana dan merebut Shinta dari tangan jahatnya.
Dibawakan dalam bahasa Inggris, pentas wayang itu terlihat lebih unik sekaligus menggelitik. Kathy, yang pernah berguru pada keluarga dalang Sunarya dan Otong Rasta, membawakan cerita dengan kepiawaian seorang dalang profesional, lengkap dengan pesan sarat makna disertai canda yang mengundang tawa.
Misalnya, saat Rahwana melobi Subali agar merapat ke dalam koalisinya guna menghadapi Rama, berbagai bujuk rayu dia lancarkan, termasuk mengiming-iminginya dengan mengatakan “kami memiliki segala macam jenis pisang.” Akhirnya Subali memang tunduk pada bujuk rayu angkara murka dengan membela Rahwana. Namun kera lain, Sugriwa yang juga saudara kandungnya misalnya, memilih jalan kebajikan dengan membela Rama.
Demikian juga dengan Hanuman, keponakan mereka yang jadi tokoh utama. Kisah Hanuman adalah tentang pilihan antara kebajikan dan kejahatan, antara hal yang baik dan hal yang buruk. Dalam kadar yang beragam, pilihan semacam itu seringkali dihadapi manusia dalam hidupnya.
“Dalam keadaan apapun di dunia ini akan selalu ada kebaikan yang muncul, dan kebaikan itu bisa dicari dalam diri sendiri seperti dalam kelahiran Hanuman. Itulah pesan filosofis dari pertunjukan tersebut,” kata Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Washington DC, Haryo Winarso.
Ramayana adalah kisah yang berasal dari negeri India. Namun setiba di Indonesia ceritanya mengalami berbagai perubahan hingga tak lagi persis sama. Misalnya, dalam versi Sunda yang dibawakan Kathy, Hanuman adalah putra Batara Guru, sementara dalam versi India Hanuman adalah putra Batara Bayu.
Selama 1,5 jam pertunjukan, penonton dibuat terpukau oleh Kathy dan boneka-boneka wayang kecilnya. Tak heran ketika pertunjukan selesai dan Hanuman bersama kawan-kawannya undur diri, Kathy mempeoleh standing applause. Selama hampir satu menit tepuk tangan tak henti-hentinya membahana dari kurang lebih 350 penonton yang memenuhi ruangan.
“Pertunjukan tadi luar biasa. Dia (Kathy) melakukannya dengan sangat bagus. Saya sudah sering menonton wayang, namun yang ini benar-benar luar biasa,” kata salah seorang penonton, Randal Baier, saat ditemui usai pertunjukan.
Randal yang juga profesor di Eastern Michigan University ini mengaku datang jauh-jauh dari Michigan hanya untuk menyaksikan pentas wayang tersebut. “Saya harus menyetir selama sepuluh jam hanya untuk menyaksikan pertunjukan wayang ini,” ucapnya antusias.
Komentar-komentar serupa berseliweran dari para penonton usai acara. Fakta bahwa pentas itu dilangsungkan di Freer Gallery of Art yang merupakan bagian dari Smithsonian Museum menjadi nilai tambah tersendiri. “Smithsonian adalah lembaga seni yang sangat prestisius di
Amerika,” kata Haryo.
Selain wayang, festival kesenian bertajuk “Performing Indonesia: Music, Dance, and Theater from West Java” yang digelar 4-5 Oktober 2014 itu juga menampilkan pentas tari tradisional Jawa Barat, angklung, gamelan, dan juga simposium mengenai kesenian Jawa Barat. Ini adalah tahun kedua acara semacam itu digelar di Washington DC, setelah tahun sebelumnya dipentaskan kesenian dari Bali, Jogja, dan Sumatera Barat.
(slm/slm)