Bertempat di lapangan Direktorat Polisi Militer di Jalan Merdeka Timur, serah terima tugas pengawal kepresidenan dari Resimen Tjakrabirawa ke Polisi Militer dilakukan. Serah terima itu dilakukan Brigjen Sabur kepada Direktur Polisi Militer (Dirpom) Brigjen Sudirgoâ. Sebagai pelaksana tugas pengamanan, Dirpom menegaskan Yon Para Pomad dan komandan Letkol CPM Norman Sasono.
Dampak dari keluarnya Supersemar pada 11 Maret 1966, salah satu tugas yang dibebankan pada Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soehartoâ âadalah menjamin keselamatan pribadi Presiden dan keluarganya. Dalam pelaksanaan tugasnya, Soeharto telah mengadakan musyawarah dengan panglima-panglima AD, AL, AU dan kepolisian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keempat menteri/panglima angkatan tersebut sepakat menarik anggota angkatannya yang ditugaskan dalam resimen Tjakrabirawa setelah AD menyatakan siap melaksanakan tugas pengawalan presiden," kata Maulwi Saelan seperti yang dikutip detikcom pada buku 'Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno' karya Asvi Warman Adam Dkk, Jumat (3/10/2014).
Meski Tjakrabirawa sudah dihapuskan, Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang menjadi ring 1 Presiden Soekarno masih melayani, meski geraknya terbatas bahkan terkesan dihalang-halangi ketika akan melayani Soekarno.
Salah satu anggota DKP, Pembantu Letnan ISuwarto menceritakan pernah terjadi seorang anggota DKP yang ikut pengawalan Soekarno ke Bogor dihardik seorang perwira Satgas Pomad ketika akan membukakan pintu mobil Soekarno. 'Biar dia buka sendiri, kamu kultus!' ucap perwira tersebut.
Selain itu, Suwarto juga menceritakan tentang cerita tak mengenakkan Komandan Resmien II PM Kolonel CPM (Purn) Sunario yang bertugas di Gadog, Ciawi, Bogor tentang kunjungan Presiden Soekarno di Cimacan. Saat itu, Bung Karno menceritakan keheranannya melihat respon warga di sebuah perkebunan rakyat. Mereka menutup pintu dan ketakutan.
"Bung Karno heran dan menanyakan kenapa hal ini bisa terjadi?" kenang Maulwi.
Pada Soekarno, Sunario menjelaskan di tengah masyarakat sudah beredar kabar bahwa Soekarno seperti lelepah yakni orang mati yang seharusnya tidak bergerak lagi. Jika Soekarno bergerak maka akan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.
Kisah lain diceritakan Duta Besar Keliling RI, Supeni saat bersama suaminya Ahmad Natakusuma berada di Cipayung, Bogor, Jawa Barat. Di sana ia bertemu dengan Soekarno dan Hartini yang berkendara Jeep. Oleh Soekarno, mereka diajak ke tempat pemandian Cimelati di Cigombong, Sukabumi.
Kedatangan Soekarno membuat warga berkerumun untuk melihat. Tiba-tiba di tengah kerumunan muncul seorang Lelaki berseragam tentara langsung sujud di depan Soekarno sambil menangis. Supeni dan suaminya serta Hartini bengong karena tak mengenai orang itu.
Soekarno menghampiri tentara itu dan tidak menjelaskan apa-apa. Ia hanya berkata 'Sudah, sudah' dan meminta orang itu pulang. Bapak Proklamator itu mengerti betul bahwa keberadaannya selalu dibuntuti Intel seperti saat masih zaman kolonial Belanda. Karena itu dia memilih tak berbicara banyak kepada tentara itu.
Malang justru menimpa Supeni yang tak tahu apa-apa. Usai kejadian itu, rumahnya didatangi interogator yang menanyakan tentang orang yang bersujud di depan Soekarno saat di Cimelati, Sukabumi. Meski sudah mengaku tak tahu, Supeni tetap dicecar pertanyaanâ lanjutan. Hingga saat ini tak diketahui siapa tentara yang datang bersujud di depan Soekarno.
Setelah Soeharto mendapatkan Supersemar, orang-orang dekat Soekarno mulai ditangkapi, tak terkecuali pembekuan Resimen Tjakrabirawa yang membuat para anggotanya harus 'tercoreng wajah' karena dinilai bagian dari Gerakan 30 September bersama Soekarno. Para petingginya dipenjara termasuk Maulwi.
Salah satu Rumah Tahanan Militer (RTM) yang dirasakan Maulwi adalah RTM Budi Utomo. Setelah berpindah rutan, rutan terakhir yang dicicipinya dalam 5 tahun masa tahanan itu adalah Lembaga pemasyarakatan Nirbaya yang letaknya dekat TMII sekarang. Di situ ia bersama para petinggi Tjakrabirawa seperti Sabut, Mangil dan Hario 'Kecik'.
Selama ditahan, banyak hak profesinya yang direnggut. Gajinya selama 5 tahun 'hangus' dan banyak barang berharganya yang disita.
Ia akhirnya dibebaskan pada 1972. Saat itu ia sudah berusia 45 tahun. Namun, perjuangannya hidup sebagai sipil tak berjalan mudah. Ia harus mendatangi kantor CPM untuk meminta surat keterangan agar tak dicap PKI. Hal ini karena jika dicap sebagai PKI atau terdapat keterangan 'ET' pada KTP maka akan jadi masalah besar.
Selain itu, ia juga sudah tak mendapat tunjangan pensiun perwira. âAkhirnya ia membangun kehidupannya menjadi warga sipil dari nol. Ia mulai dengan bantuan teman bekerja sebagai kontraktor hingga sekarang menjadi pemilik yayasan sekolah Al Azhar âSyifa Budi.
(bil/ndr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini