Seperti pasal baru dalam 76A yang berbunyi:
Setiap orang dilarang:
a. memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya.
b. memperlakukan anak penyandang disabilitas secara diskriminatif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pasal tersebut tidak baik sebagai rumusan dalam hukum pidana. Frase 'perlakuan diskriminatif' masuk dalam ranah hukum administratif, bukan rumusan hukum pidana," kata ahli pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Mudzakir saat berbincang dengan detikcom, Jumat (3/10/2014).
Menurut Mudzakir, parameter seseorang melakukan 'perlakuan diskriminatif' tidak terukur secara pasti serta terlalu luas pengertiannya. Sehingga hal itu membuka peluang untuk diterjemahkan secara subjektif oleh tiap individu. Sayangnya, dalam penjelasan pasal 76A UU hanya tertulis 'sudah jelas'.
"Jadi apa yang dimaksud dengan perlakuan diskriminatif? Apa yang dimaksud itu juga seperti maksud pasal penghinaan di KUHP? Atau bagaimana?" tanya Mudzakir kebingungan.
Lebih parah lagi, ancaman 5 tahun penjara juga menjadikan seseorang bisa langsung ditahan. Hal ini sesuai KUHAP yang memberikan kewenangan penegak hukum menahan seseorang dengan alasan subjektif aparat asalkan memenuhi syarat ancaman 5 tahun penjara atau lebih.
"Ini yang namanya over kriminalisasi," cetus Mudzakir.
Dalam Pasal 21 ayat 4 huruf a KUHAP berbunyi:
Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Sampai di situ? Tidak. UU Perlindungan Anak yang baru itu juga mengancam orang yang menghalang-halangi anak menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya atau menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan masyarakat dan budaya dipidana maksimal 5 tahun penjara. Hal itu sesuai pasal 76G jo pasal 86 G.
"Maksudnya apa ini? Frase di atas adalah frase administratif tapi ditarik ke ranah pidana. Ini yang juga disebut pemidanaan hukum administratif," ujar Mudzakir.
Coreng moreng UU Perlindungan Anak yang baru diketok DPR itu diakui oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Selaku salah satu pelaksana UU tersebut, KPAI malah tidak dilibatkan dalam proses revisi UU itu.
"Secara umum, UU hasil paripurna kemarin sangat tidak memuaskan karena terkesan buru-buru," kata Ketua KPAI Asrorun Ni'am Saleh.
(asp/nrl)