Kisah Pasukan Tjakrabirawa dan Sumur Lubang Buaya

Kisah Pasukan Tjakrabirawa dan Sumur Lubang Buaya

- detikNews
Jumat, 03 Okt 2014 07:47 WIB
Jakarta - Sebuah Sumur menjadi saksi bisu para jenderal yang gugur dalam peristiwa G 30/S pada 1965. Beredar kisah Presiden Soekarno meminta bawahannya ke satu tempat untuk mencari jenazah para jenderal untuk dihilangkan bekasnya.

Namun, kisah seperti itu dibantah Wakil Komando Resimen Tjakrabirawa Maulwi Saelan yang menjadi salah satu orang terdekat Soekarno sejak tahun 1962. Dalam buku 'Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno', Maulwi menceritakan tentang penemuan Sumur Lubang Buaya yang dijadikan tempat mengubur para jenderal yang menentang Gerakan 30 September.

Seperti dikutip detikcom dalam buku 'Maulwi Penjaga Terakhir Presiden', Kamis (2/10/2014), ‎Maulwi menceritakan bahwa pada 1 Oktober 1965, ia menemukan eorang agen polisi Sukitman, di depan kantor PENAS di By Pass, Jakarta Timur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia ditemukan patroli Resimenn Tjakrabirawa. Patroli ini disebut Maulwi adalah rutinitas kontrol setiap pagi di sekitar perumahan perwira di Pasar Rebo. Sukitman yang waktu itu nampak kebingungan, dibawa ke Markas Tjakrabirawa untuk dimintai keterangan.

Ternyata, Sukitman adalah salah satu polisi yang sedang bertugas saat para jenderal diculik pada 1 Oktober 1965. Ia dipaksa dan dibawa ke Lubang Buaya, namun ia berhasil meloloskan diri hingga ditemukan Patroli Tjakrabirawa.

Keesokan harinya, Sukitman dan hasil pemeriksaannya diserahkan pada Kodam V Jaya yang saat itu dipimpin Mayjend Umar Wirahadikusuma‎. Oleh Kodam V Jaya, Sukitman diserahkan pada Kostrad.

Di hari yang sama, Presiden Soekarno telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata bersama Waperdam II Leimena dan para pejabat penting lainnya untuk menyelesaikan masalah G 30/S.

"Pada 3 Oktober, saya menghadap Presiden Soekarno dan menyampaikan laporan tentang perkembangan terakhir termasuk penemuan agen polisi itu," kata Maulwi.

"Presiden sedih sekali atas nasib para jenderal yang diculik, khususnya Jenderal Ahmad Yani, jenderal yang sangat disayanginya," ujarnya.

Karena basib para jenderal dan seorang perwira belum diketahui, Presiden Soekarno meminta Maulwi mencari tahu nasib mereka. Maulwi pun mengawal pencariannya dengan mempelajari keterangan Sukitman.

Ia bersama Letnan Kolonel Ali Ebram dan Sersan Udara PGT Poniran berangkat menuju Halim Perdanakusuma dan malapor pada Kolonel AU/PNB Tjokro yang saat itu piket terkait rencana pencarian tersebut. Mereka dibekali satu set generator listrik dan berangkat mencari lokasi yang diceritakan Sukitman.

‎Mereka lalu menemukan sebuah rumah di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di dekat rumah itu ada pohon yang cukup besar. Pencarian pun dilakukan. Saat itu ditemukan sebidang tanah yang sudah tidak digunakan namun ada tanda mencurigakan seperti baru dipakai. Tim yang dipimpin Maulwi pun mengkorek-korek dedaunan dan tampak sumur tua.

Karena tak membawa peralatan lengkap, Maulwi meminta bantuan warga untuk menggali sumur itu. Tak berapa lama muncul pasukan RPKAD yang dipimpin Mayor C.I Santoso yang membawa agen polisi Sukitman sebagai penunjuk jalan. Selain itu ada juga ajudan Jendral Ahmad Yani, Kapten CPM Subardi.

"Setelah mendapat penjelasan dan dicocokkan dengan keterangan agen polisi tersebut, penggalian dilanjutkan," kenang Maulwi.

Kondisi sumur yang sempit yakni hanya muat untuk 1 orang membuat penggalian memakan waktu lama. Saat itu hari mulai gelap namun belum ditemukan tanda-tanda mencurigakan. Generator pun dihidupkan untuk memberikan penerangan selama proses penggalian.

Jelang tengah malam, penggalian menunjukkan hasil. Saat itu tercium bau tidak sedap. Setelah penggalian cukup dalam, akhirnya ditemukan sebuah tangan. Penggalian terpaksa dihentikan karena orang-orang tak tahan dengan bau tak sedap yang keluar dari sumur.

Setelah berunding dengan C.I Santoso, disepakati untuk melaporkan hal itu pada Pangkostrad Jenderal Soeharto untuk mendapatkan instruksi selanjutnya. Hal ini karena untuk menggali lebih dalam dibutuhkan peralatan khusus seperti yang dimiliki pasukan katak KKO.

"Saat itu sudah pukul 03.00 dan rombongan saya pulang untuk salat Subuh‎ dan istrirahat karena mulai merasa flu," kata Maulwi.

Maulwi lalu memerintahkan Kepala Staf Resimen Tjakrabirawa Letkol Marokeh Santoso untuk menggantikannya. Keterangannya ini untuk menampik pernyataan ajudan Presiden Soekarno, Bambang Widjanarko yang disampaikannya saat dimintai keterangan Teperpu (badan yang dibuat untuk menyelidiki kasus G 30 S).

Saat itu Bambang mengaku mendengar perintah Soekarno pada Kolonel Saelan (Maulwi Saelan) untuk pergi ke satu tempat dan menghapus bekas-bekas jenazah. Bambang -disebut Maulwi- juga mengaku mendapat laporan dari Sabur bahwa gagasan untuk menghilangkan jenazah itu berasal dari PKI dan diteruskan pada Soekarno melalui Supardjo dan Sabur.

"Tidak benar sama sekali berita yang mengatakan Presiden Soekarno mengetahui peristiwa penculikan G 30/S. Dan tidak pernah ada perintah presiden kepada kami (Tjakrabirawa) untuk menghilangkan jejak para jenderal yang diculik," tegas Maulwi.

(bil/ndr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads