Dalam sidang mendengarkan keterangan saksi, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (1/10/2014), dr Ayu bercerita pasca dirinya divonis penjara oleh hakim agung Artidjo Alkotsar dan rekannya.
"Pasca kasus ini, saya jadi tidak menekankan tindakan penting kepada pasien. Jadi kalau ada pasien yang tidak mau ditindak oleh saya, ya saya biarkan. Kalau dulu, saya sering memberitahu tindakan ini suatu yang penting," ujar dr Ayu yang berbatik hijau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tidak ada titik temu dengan mereka (penegak hukum). Mereka tidak mengerti bahasa medis," ucapnya.
Belajar dari pengalamannya, dr Ayu mendukung gugatan para dokter yang ingin membatalkan pasal 66 ayat 3 UU No 29/2011 tentang praktik kedokteran. Pasal tersebut, menurut dr Ayu membuat dirinya lebih mudah dipidana.
"Alangkah baiknya kami disidang oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) saja. Karena kami bisa menjelaskan tindakan kami terkait perjalanan penyakit," ucapnya.
Pemohon memohon MK menghapus pasal 66 ayat 3. Pasal 66 UU Praktik Kedokteran berbunyi:
1. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
2. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
3. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
(rvk/asp)