Beberapa waktu lalu ada 13 siswa SMA 70 Jakarta yang dikeluarkan dari sekolah karena diduga melakukan tindakan kekerasan dan bully kepada juniornya. Alumni dari sekolah tersebut menganggap, semuanya berawal dari keinginan para siswa untuk mengaktualisasi diri serta mencari jati diri.
"(Kekerasan)β adalah tradisi yang diteruskan bergenerasi terus-menerus di SMA 70. Walaupun sebenarnya, semua berawal dari keinginan siswa untuk melakukan aktualisasi diri, mencari Jati diri," ujar Tunggul Wulung, alumni SMA 70 saat diskusi hasil penelitian 'Budaya Kekerasan dan Bullying di Sekolah Menengah Atas' di Universitas Al Azhar, Kebayoran Baru, Jaksel, Kamis (25/9/2014).
Wulung adalah alumni dari SMA unggulan tersebut pada era 90-an. Menjadi siswa baru pada tahun 1990, pada saat itu dirinya sempat mengalami adanya budaya yang berbeda-beda antar angkatan, dan lingkungan di luar sekolah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, menurut Wulung, pencarian Jati diri merupakan hal utama yang menjadi masalah setiap remaja. "Kalau nggak jadi anggota Osis, untuk perempuan harus jago dance atau jadi cheerleader, βkalu nggak jadi siswa yang nakal banget, Jago berantem, atau makai narkoba. Jadi ingin menunjukkan eksistensi diri," lanjutnya.
Pada saat menjadi siswa kelas 2, Wulung berkisah pada saat itu dialah siswa yang paling banyak memukuli siswa kelas 3. Dan pada saat itu dia merasa bangga dengan perbuatannya. Segalanya terjadi tentunya karena ingin menunjukkan sebuah eksistensi diri kepada lingkungan.
"Pada saat itu saya merasa bangga banget. Orang yang dulu gencet saya,βsaat kudeta, saya dapat memukuli anak kelas 3 sepuas-puasnya. Saat itu saya merasa berhasil membalas pihak yang menzolimi saya," ungkapnya.
Dia mengakui, hingga saat ini budaya senioritas yang awalnya diperuntukkan untuk menjaga solidaritas antar angkatan, tampaknya masih dilestarikan oleh angkatan pada masa sekarang. Walaupun sayangnya, konteksnya telah berbeda jauh.
"Kalau saat itu hanya sebatas memukuli untuk menunjukkan kami senior, lalu tawuran untuk menunjukkan solidaritas sekolah, saat ini berbeda. Tradisi ini diteruskan dari generasi ke generasi, sehingga kekerasan dan bully itu masih suistainable, meski telah berbeda konteks," ungkapnya.
Pekan lalu, 13 orang siswa SMA 70 dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlibat aksi kekerasan dan bullying kepada junior mereka. Orangtua yang kaget dan tidak terima anaknya dikeluarkan sempat melakukan protes kepada pihak sekolah, bahkan mengadakan permasalahan ini kepada Dinas Pendidikan DKI Jakarta.
Sebelum hal ini terjadi, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama telah memerintahkan pihak sekolah untuk memberhentikan siapa saja siswa yang terbukti melakukan kekerasan dan bullying. Memberhentikan mereka, dianggap sebagai salah satu solusi untuk memberikan efek jera kepada siswa yang kedapatan melakukan tindakan kekerasan dan bully.
(rni/ndr)