"Saudara Jokowi presiden terpilih, dan yang diinginkan republik ini kan wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ujar Dillon di kantornya, Jl Juanda, Jakarta Pusat, Kamis (25/9/2014).
Dillon menambahkan, persoalan kemiskinan juga jadi warisan yang diterima Presiden SBY. Hal ini akan terus terjadi jika pemerintahan selanjutnya tidak melakukan perubahan yang hakiki dan substansial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maksud Dillon ialah trisakti seperti berdikari, berkepribadian dan berdaulat dalam menangani kemiskinan. Karena baginya, sejauh ini pemerintah hanya melakukan perubahan wujud tanpa dilandasi substansi.
"Jadi wujud baru tapi sifat hakekatnya sama. Itu keadaan kita sekarang. Mungkin setengah rakyat kita masih miskin," ujar Dillon.
"Saya pernah ke desa lalu dibilang itu (wilayah tersebut) rentan (kemiskinan), itu hampir. Tolonglah, kalau miskin bilang saja miskin," tambahnya.
Pria keturunan India itu lalu bercerita ketika dirinya bertemu seorang menteri koordinator yang kini sudah tidak menjabat. Dillon menanyakan komitmen menko tersebut terhadap buruh tani dan petani.
"Saya pernah datangi seorang menko, 'kapan kalian bagi tanah pada rakyat? Kenapa terus (bagi tanah) ke konglomerat?' Itu harus ada distribusi, itu konsep saya," ujar Dillon.
"Saya dulu pernah jelaskan kepada Presiden Gus Dur, perkebunan pemerintah besar, 30 persen sahamnya seharusnya diserahkan kepada buruh tani di situ. Lalu 10 persennya ke desa sekitar. Karena tujuan BUMN itu alat kebijakan pemerintah, itu keadilan yang penting. Tapi setengah rakyat kita ada di perkotaan," ujarnya.
Kemudian Dillon menyinggung salah satu program pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan, yaitu Kredit Usaha Rakyat atau KUR. Menurutnya, banyak bank yang memberikan KUR kepada orang mampu karena jaminan bisa diganti kreditnya.
"Semua bank menyatakan sudah jalankan KUR, tapi rakyat yang membutuhkannya nggak sampai. Cari gampang, memberikan KUR ke yang mampu dan bisa mengembalikan kredit," papar Dillon.
Sektor pendidikan juga disinggung oleh Dillon. Menurutnya, pendidikan di Indonesia yang ada sekarang kurang mendukung masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sehingga hanya yang mampu yang mendapatkan pendidikan berkualitas tinggi.
"Jadi intinya, bahaya sekali kalau kita tidak perbaiki dari sekarang. Pendidikan alat untuk menghilangkan kesenjangan, tapi pendidikan sekarang bisa meningkatkan kesenjangan," kata Dillon.
"Saya pernah pergi ke konglomerat yang memberikan sumbangan besar ke sekolah di Singapura. Akhirnya dia bawa saya lihat sekolahnya, luar biasa bagus. Akhirnya saya melihat, anak-anak rakyat biasa tak akan bisa bersaing dengan anak orang kaya," tambahnya.
Sektor pendidikan ini disarankan Dillon menjadi unggulan pemerintah selanjutnya untuk meretas kemiskinan. Seperti membuat program pendidikan berdasarkan kebutuhan nasional dengan menjaring anak-anak yang kurang mampu sehingga di masa depan ia dapat bekerja untuk negara sebagai profesional atau ahli yang mengisi kebutuhan nasional.
"Seperti BBM, itu dihitung berapa kenaikannya. Kalau naik itu bagian komponen biaya BBM-nya, jangan suka-suka hati. Pemerintah sebelum menaikan itu duduk dengan pengusaha-pengusaha. Bilang, 'kita sudah hitung kamu bisa naikan harga hanya sampai sekian, harusnya begitu. Tapi kita ini pasar yang terlalu bebas, pasarkan tidak pandang orang miskin ini," tutup Dillon.
(vid/ndr)