Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah disahkan oleh DPR Rabu (24/9/2014) kemarin. Ini poin-poin penting UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Almuzzammil Yusuf mengatakan pengesahan ini agar proses peradilan pidana dapat berjalan seimbang dan berkeadilan baik bagi korban, pelapor, saksi, ahli, dan saksi pelaku.
Menurut Muzzamil melalui RUU perubahan ini, masyarakat yang menjadi saksi dan korban dijamin untuk mendapatkan perlindungan diri, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman atas kesaksian yang diberikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa poin penting dalam perubahan RUU ini adalah adanya perluasan objek perlindungan. Awalnya hanya saksi dan korban, setelah revisi UU ini disahkan maka ditambah saksi pelaku, pelapor, ahli, dan orang yang tidak melihat, mendengar dan mengalami langsung sebuah kasus.
βJadi tidak seperti dulu, LPSK hanya melindungi saksi dan korban ketika sudah masuk di persidangan. Mulai saat ini pelapor kasus kejahatan tertentu dapat dilindungi LPSK sehingga LPSK menjadi pusat pelaporan dan pengaduan masyarakat atas berbagai kasus baik yang sedang disidangkan maupun kasus baru yang belum diproses oleh penegak hukum,β paparnya.
Oleh karena itu, Muzzammil mendesak agar kerjasama dan koordinasi antar lembaga harus ditingkatkan. βSehingga masyarakat tidak disulitkan oleh prosedur yang tidak jelas dan tumpang tindih ketika ingin mendapatkan perlindungan dari LPSK.β Jelasnya.
Menurut Muzzammil, meskipun LPSK memiliki kewenangan memberikan perlindungan kepada saksi, korban, saksi pelaku, ahli, pelapor dalam semua tindak kejahatan, namun LPSK perlu memberikan perhatian khusus tertentu. Di antaranya terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat.
Selain itu, dalam RUU perubahan ini, LPSK diberikan kewenangan untuk memberikan perlindungan kepada pihak tertentu tanpa pihak yang diberi perlindungan mengajukan permohonan kepada LPSK. Artinya, mulai RUU ini diundangkan, LPSK tidak lagi bekerja secara pasif, menunggu pelapor kasus.
βLPSK harus aktif menggunakan semua alat komunikasi, media massa dan menjalin kerjasama dengan semua pihak, termasuk LSM, tokoh masyarakat, kalangan akademisi untuk mencari pelapor, saksi, korban, dan ahli yang membutuhkan bantuan perlindungan LPSK," tegasnya.
Dengan ditambahnya objek perlindungan dan kewenangan LPSK, maka penguatan organisasi LPSK akan dibantu Sekretariat Jenderal, ditambahnya jumlah tenaga ahli LPSK yang profesional, dan Dewan Penasihat yang merupakan lembaga baru yang diinisiasi dalam RUU perubahan ini.
βJadi Dewan Penasihat ini selain tugasnya memberikan nasihat tapi juga diberikan kewenangan untuk membentuk Dewan Etik yang bersifat ad hoc jika terjadi pelanggaran kewenangan oleh anggota atau pimpinan LPSK," terangnya.
Muzzammil berharap pimpinan dan anggota LPSK mendapatkan pengawasan yang berimbang dalam menjalankan tugasnya.
βTujuannya untuk menghindari terulangnya kasus yang pernah terjadi dalam LPSK. Seperti adanya kongkalikong antara komisioner LPSK dengan saksi/korban, intimidasi terhadap saksi agar menyerahkan barang bukti dan sebagainya, jelasnya.
βDengan dikuatkannya kelembagaan LPSK, kami berharap LPSK dapat memberikan peningkatan kualitas perlindungan kepada masyarakat yang membutuhkan," tambahnya.
Rapat pengesahan RUU ini dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Pramono Anung, Wakil Ketua Komisi III DPRI RI, Al Muzammil Yusuf dan juga dihadiri Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin sebagai wakil pemerintah, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani, dan jajaran staf LPSK.
(slm/nwk)