"Pemerintahan Soeharto dibagi ke dalam 3 masa. Masa pertama pada 1965 kebawah itu beliau masih konsolidasi dalam menghadapi tantangan internal. Lalu masa kedua, yang dianggap sebagai golden years nya Pak Harto adalah dari tahun 1983 hingga 1993," ujarnya saat diskusi publik dalam membahas efektifitas pemerintahan Jokowi-JK di Hotel Harris, Tebet, Jaksel, Selasa (23/9/2014).
Menurutnya, โpada masa itu, semua laporan tentang negara yang masuk dari para menteri dibaca dengan teliti, bahkan diskusi serta perdebatan, sudah dianggap sebagai hal yang biasa saat itu.โ
โ
"Saat itu beliau bagus sekali, misalnya semua menteri diberi waktu paling sedikit sebulan sekali. Dan ketika kita menghadap, laporan kita sudah dilipat-lipat ujung kertasnya, bahkan kata-kata yang penting sudah di stabilo, dan kita bisa berdiskusi dengan beliau berjam-jam, itu adalah hal biasa," ungkapnya berkisah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pengalaman pribadi saya, dalam tahun-tahun itu Pak Harto memiliki metode untuk mencarikan orang, dia memakai laporan intelijen. Jadi siapapun yang ingin menjabat, data, latar belakang itu Pak Harto sudah punya, dan cara itu sangat akurat dan profesional," ungkapnya.
Lanjut Sarwono, apa yang dilakukan Soeharto memiliki hubungan paralelโ dengan metode yang ditetapkan Jokowi pada masa ini. "Saya rasa sama ada paralelnya dengan metode Jokowi karena sama-sama ada transparansi," sambungnya.
Setiap presiden memiliki cara tersendiri dalam merekrut orang-orang di pemerintahannya. "Kalau Pak Harto dengan intelijen, maka di jalam Gus Dur, orang-orang untuk tahu dia menjadi menteri dan diberhentikan dari posisi menteri, melalui televisi. Pada jaman SBY, memakai sistem audisi yang diliput oleh kamera dimana-mana," jelasnya sambil tertawa.
Sementara pada era Jokowi, publik diberikan wewenang untuk menyeleksi calon menteri . Dari 2800 calon, saat ini semua telah mengerucut, dan tinggal Jokowi-JK saja yang memiliki kewenangan untuk hasil akhirnya.
Rusdiarto, staf ahli bidang kebijakan publik KemenPAN, juga memberikan beberapa masukan untuk efektivitas di pemerintahan selanjutnya. Calon menteri yang memiliki visi dan misi yang kuat adalah calon terdepan yang sebaiknya dipilih.
"Suggestion yang lain adalah visi misi yang jelas, dan harus sampai ke bawah, seperti blusukan yang dilakukan oleh Jokowi. Sebaiknya menterinya juga seperti ini, memiliki visi misi yang jelas. Kalau semua jelas, semua pasti akan ikut," kata Rusdiarto.
"Seleksi jabatan terbuka, setidak-tidaknya merubah banyak tentang midset birokrasi, dari mapan menjadi kompetitif, dan ini besar pengaruhnya. Disini kita jadi dapat mengukur tingkat efisiensi dan melihat performance menteri nya, sehingga ada ukuran yg jelas.
Sebagai staf ahli di kementerian, baik dirinya maupun Sarwono telah memiliki ide dan usulan mengenai sistem transparansi ini, bahkan jauh sebelum Jokowi menjabat sebagai gubernur. Namun pada saat itu usulan ini selalu mendapat kendala dari anggota dewan. Merubah mindset (pola pikir), mereka akui adalah hal yang sulit.
โ"Sistem ini memang belum pernah dilakukan dulu, karena memang untuk merubah sistem mindset itu suliโt," pungkasnya.
(rni/mpr)