Mempersiapkan Dapur Umum

Catatan Harian Aceh (4)

Mempersiapkan Dapur Umum

- detikNews
Minggu, 09 Jan 2005 10:16 WIB
Jakarta - Segera ke Aceh, itulah yang dilakukan Komisaris detikcom Bondan Winarno tidak lama setelah terjadi gelombang tsunami. Banyak kisah yang dialami mantan Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan, selama di Tanah Rencong itu. Kisah-kisah Bondan Winarno akan redaksi muat secara berseri. Tulisan ini juga dimuat di Suara Pembaruan. Berikut tulisan seri keempat Bondan Winarno dengan judul Mempersiapkan Dapur Umum. Selamat mengikuti! Senin, 3 Januari 2005Pagi itu, seperti biasa, saya bangun pada saat subuh. Saya keluar ke geladak dan mencoba melihat ke daratan. Masih gelap, dan saya sama sekali tak dapat membayangkan apa yang ada di depan sana. Gelap gulita. Tak ada satu pun lampu kota yang menyala. Sesekali tampak cahaya bergerak, menandakan adanya kendaraan bermotor yang lewat.Sekalipun dingin, saya tetap berdiri di geladak, menunggu menit demi menit sampai terang tanah, dan beberapa bangunan besar di daratan mulai tampak. Aminsyah, Komandan Kompi Relawan, yang sehari-hari bekerja sebagai konsultan konstruksi pelabuhan dan pernah beberapa kali berkunjung ke Meulaboh, menunjuk gedung berlantai empat dengan atap genting hijau di sana adalah kantor Korem.Saya naik ke anjungan. Komandan Kapal ternyata sedang sibuk memimpin olah gerak untuk memindahkan tempat “parkir” kapal agar lebih dekat ke pantai. Kami mendekat hingga jarak 700 meter dari pantai. Karena pelabuhan Meulaboh telah hancur, kapal tidak bisa merapat dan sandar di dermaga. Sekalipun KRI Teluk Peleng mempunyai kemampuan beaching, yaitu “menyodok” ke pantai dan membuka pintu roll-on roll-off di depan, tetapi tsunami yang baru saja terjadi tentu telah mengubah gradient (kelandaian) pantai, sehingga Komandan Kapal memutuskan lego jangkar di tengah laut, sedekat mungkin dengan garis pantai.Saya meminjam teropong di anjungan untuk melihat daratan. Ternyata, di antara beberapa gedung besar dan tinggi yang masih tampak berdiri, yang terlihat hanyalah tumpukan puing-puing. Beberapa facade bangunan komersial tampak rontok. Tetap tak tampak ada kehidupan. Tak ada orang lalu-lalang. Meulaboh kota mati!Bulu kuduk saya meremang. Ya, kami telah tiba di Meulaboh. Kami sudah menghadapi kenyataan itu. Pelan-pelan saya mulai mencium bau anyir dari arah daratan. Tak salah lagi! Memang bau kematian!Di anjungan itu saya mendengar komunikasi antara Komandan Kapal dengan KRI Pati Unus yang ternyata menjadi koordinator bagi kapal-kapal TNI-AL yang bertugas di Meulaboh. Pati Unus meminta agar proses debarkasi (pembongkaran muatan) KRI Teluk Peleng segera dilaksanakan.Saya segera turun memberi tahu Aminsyah agar mempersiapkan anakbuahnya. Seperti telah kami rencanakan sebelumnya, satu peleton relawan akan tinggal di KRI Teluk Peleng untuk membantu proses debarkasi. Sedangkan dua peleton relawan turun ke darat untuk menangani debarkasi dan melakukan evakuasi jenazah.Sekalipun masih terlihat ada canda yang agak berlebihan, tetapi pagi itu para relawan tampak tampil lebih sigap. Semua perlengkapan yang akan dibawa turun ke darat sudah siap di dekat tangga. Beberapa relawan sempat berjabatan tangan dengan saya, minta doa restu. Saya merasa sedikit kikuk. Tetapi, mungkin itu gaya Medan?Uji NyaliSaya berada di perahu kedua yang menuju ke darat. Di dermaga Meulaboh, saya tercekam melihat “pemandangan” yang terpapar di sana. Kehancuran total! Bangunan yang dari jauh kelihatan berdiri tegap, ternyata sebenarnya sudah porak-poranda. Kaca-kacanya hancur, sebagian genting hilang, sebagian dinding menganga, beberapa kolom beton patah. Banyak perahu dan truk besar terlempar hingga sekitar 200 meter ke darat, dan tetap teronggok di sana ketika air surut.Bau bangkai merebak di mana-mana di kawasan yang disebut Padang Seurahit (Kampung Pasir) itu. Beberapa personel TNI-AL dan Marinir tampak “menguasai” kawasan dermaga itu. Letda Arys Susanto yang sudah tampak hitam-legam karena tiga hari berjemur di sana, menyambut dengan senyum lebar. Ia sempat bercerita bahwa KRI Pati Unus dalam perjalanannya ke Meulaboh berhasil menyelamatkan seorang perempuan berusia 30 tahun yang sudah lima hari terapung-apung di laut. Tim TNI-AL di situ dipimpin oleh Kolonel Firman yang tampak sangat simpatik menghadapi para pengungsi. Ia awas melihat sekeliling. Ketika melihat seorang berjalan hilir-mudik kebingungan, ia segera menyapanya. Ternyata, orang itu sungkan minta beras. Padahal, di rumahnya ia menampung banyak pengungsi. “Ambil saja satu karung beras dari tumpukan sana,” kata Kolonel Firman.Kami urung membangun tenda di dekat dermaga. Kami diarahkan untuk menggunakan saja bangunan yang masih bisa dipakai di dekat-dekat situ. Saya mengajak Aminsyah melakukan survey. Bangunan pertama sangat berbau anyir. Bangunan kedua lantainya dilapisi pasir laut setebal 20 senti. Seorang perwira TNI-AL yang melihat kami mengatakan bahwa kalau malam di situ suasananya melebihi acara “Uji Nyali” di televisi.Akhirnya kami memilih lantai dua sebuah sekolah dasar yang kosong. Sementara sebagian dari kami menyiapkan home base itu, sebagian lagi ikut satu peleton Marinir “mencari” mayat, dan sebagian yang lain membantu bongkar-muat barang di dermaga. Kami juga ikut truk-truk pembawa logistik yang selalu dikawal petugas bersenjata untuk menghindari penjarahan.Proses bongkar-muat barang bukanlah soal sepele di Meulaboh. Geladak kapal perang yang sangat tinggi membuat kesulitan memindahkan barang ke perahu-perahu nelayan kecil. Begitu pula ketika memindahkan barang dari perahu nelayan ke dermaga, dan kemudian ke truk. Kotak mi instan cukup ringan untuk dilempar. Tetapi, sekotak air minum cukup berat untuk dilempar. Apalagi karung beras 30 kg! Padahal, kami juga menurunkan dua drum avtur dan satu drum minyak tanah. Ya, relawan memang harus juga rela menjadi kuli.Pencarian mayat pada hari ke-8 sesudah bencana itu memang sudah memasuki tahap yang lebih sulit. Sebelumnya, penduduk setempat dan TNI telah menguburkan sekitar 10 ribu jenazah di pemakaman massal Gunung Bergang, Ujungkarang, dan Prembik. Hari itu, kami mulai mencari mayat-mayat di antara reruntuhan bangunan yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari garis pantai.Saya beruntung menemukan Nasrun Rasyid, seorang kontraktor asli Meulaboh, yang sukarela mengantar saya melakukan reconnaissance keliling Meulaboh. Pertama dengan mobil, lalu ganti sepeda motor. “Maaf, Pak, bensin sulit. Kita pakai motor saja, ya?” katanya. Di mana-mana saya melihat kehancuran. Di mana-mana saya melihat pengungsi.Di sebuah kedai kopi, sambil menghirup secangkir kopi Aceh yang nikmat, Nasrun bertanya. “Apa yang sekarang Bapak mau lakukan?” Saya tercenung. “Dapur umum?” tanya saya. Ia langsung menepuk bahu saya. “Ayo, Pak, bikin segera. Pengungsi tidak bisa makan beras mentah. Jangan lupa bawa juga tangki-tangki air untuk menampung air hujan. Kami tidak bisa mandi dengan air kemasan, kan?”Saya langsung pamit kepada Komandan KRI Teluk Peleng dan berpamitan dengan Komandan Kompi Relawan untuk pergi ke Medan menyiapkan dapur umum dengan Posko USU (Universitas Sumatera Utara). Saya naik minibus ke Blang Pidie, 105 kilometer di selatan Meulaboh yang ditempuh dalam waktu tiga jam berhubung banyak jalan rusak karena gempa.Minibus tiba di bandara Blang Pidie, tepat ketika pesawat SMAC yang akan membawa saya ke Medan mendarat. Saya berlari ke “kantor” SMAC yang lebih mirip gubug di pinggir landasan untuk membeli tiket. Saya “menyalahgunakan” nama Toto Iman Dewanto, anak buah Pramuka saya dulu yang menjadi Dirut SMAC, agar mendapat kursi di penerbangan itu. Maklum, pengungsi dari Meulaboh sudah sejak beberapa hari menunggu giliran diterbangkan.Lessons LearnedDi dalam pesawat Casa 212 itu, saya mencoba membuat beberapa catatan lessons learned dari “operasi” yang baru saya lihat dan bahkan saya jalani sebagian.Pertama, tentang penggunaan body bag dari plastik untuk membungkus jenazah. MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa jenazah korban tidak perlu dikafani. Body bag juga terbukti di lapangan merupakan alat yang praktis untuk menangani jenazah yang sudah rusak. Tetapi, plastik akan menjadi masalah ekologi yang berat karena tidak bisa hancur di tanah.Kedua, antusiasme masyarakat agaknya perlu “diarahkan”. Menko Kesra Alwi Shihab benar ketika mengatakan bahwa sebaiknya masyarakat menyumbang uang, bukan barang. Mengangkut pakaian bekas dan air dalam kemasan yang terkumpul di Surabaya, misalnya, akan makan waktu sangat lama untuk tiba di tujuan. Sudah pasti ongkosnya lebih besar dari nilai barang yang disumbangkan itu. Di samping akan menimbulkan masalah administrasi logistik yang luar biasa.Tetapi, soalnya, masyarakat memang tidak pernah percaya kepada Pemerintah. Jangan-jangan uangnya dikorupsi? Sayang, imbauan baik itu tidak didukung dengan kredibilitas Pemerintah, sehingga terjadi penumpukan bahan bantuan di tempat-tempat yang teramat jauh dari titik bencana.Ketiga, sumbangan berbentuk bahan juga seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan korban. Contohnya, KRI Teluk Peleng membawa 25 pallets makanan bayi siap saji dalam botol. Padahal, belum ada statistik yang menyebut jumlah bayi yang berada di tempat-tempat pengungsian. Dugaan saya, jumlah itu terlalu banyak untuk satu kota tujuan seperti Meulaboh yang ditaksir antara 60-80 persen penduduk kota pelabuhan itu tewas. Susu bubuk dan susu kental manis pun membawa persoalan karena di sana tidak cukup tersedia dapur umum. Siapa yang akan memasak susu itu? Mengapa bukan susu dalam kemasan siap saji?Keempat, soal relawan. Gubernur Sutiyoso benar ketika mengatakan di Metro TV bahwa yang paling terlatih untuk menangani pasca-bencana adalah personel militer. Tetapi, mengapa tampak ada keterlambatan dalam mengirim tentara ke lokasi bencana? Mengapa tak cukup ada pelatihan bagi warga sipil untuk menjadi relawan yang terlatih guna membantu penanganan pasca-bencana?Belum selesai catatan saya, pesawat sudah mendarat dengan mulus di Polonia. Ketika kemudian melangkah masuk ke lobi hotel untuk beristirahat di Medan, tiba-tiba saya terguncang. “Adik-adik” relawan saya masih di bekerja keras di Meulaboh sana. Ah, mengapa saya ada di hotel semewah ini? Tiba-tiba air mata saya mengalir, tanpa dapat menghentikannya. Apakah ini trauma yang selalu terjadi pada setiap relawan yang pulang dari katastrofi yang mencekam seperti dikatakan Doreen?Terima kasih kepada Dharma Eddie Salim dan Linda Widjaja dari V-Kool yang telah menyediakan dana untuk proyek kemanusiaan ini. Terima kasih kepada Danlantamal I Brigjen (Mar) Halim, Wadanlantamal I Kolonel Sudarsono, dan Komandan KRI Teluk Peleng Mayor Heru Supriyanto. Terima kasih kepada Yendy Yan, Corrie, Rudy, dan Salam dari Sejahtera Ban di Medan. Terima kasih kepada Amin, Eri, Mawardi, Aswadi dan semua relawan yang benar-benar rela mengabdikan dirinya untuk saudara-saudara kita yang tengah menderita.Terbayang oleh saya Hendra, si pengasong, yang bertekad untuk terus membantu di Meulaboh. Si Dewa yang pincang, tetapi rajin bekerja di dapur. Suhardiman yang juga tampak ringkih, tetapi selalu berada di depan bila pekerjaan datang. Terbayang lagi betapa mereka semua bekerja sangat keras selama kami di Meulaboh. Dan, tentu saja, terbayang lagi wajah-wajah “adik-adik nakal” itu ketika tiba-tiba semuanya menjadi serius menyanyi di geladak kapal.    Padamu neg’ri kami berjanji    Padamu neg’ri kami berbakti    Padamu neg’ri kami mengabdi    Bagimu neg’ri, jiwa raga kami. (sss/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads