Dia meraih penghargaan karena konsistensi menegakkan diagnosis suatu penyakit melalui pendekatan analisis genetik molekular. Selama ini dia juga menekuni penelitian terhadap penyakit genetik atau bawaan pada anak.
Dia dinobatkan sebagai peneliti muda terbaik karena dinilai sebagai peneliti yang telah memberikan kontribusi dan berkelanjutan dalam bidang life science dan kesehatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, dia menjadi dosen Bagian Ilmu Bedah, Divisi Bedah Anak. Dia juga tengah menempuh pendidikan spesialis bedah anak di FK UGM.
"Penghargaan ini untuk peneliti berusia dibawah 40 tahun yang telah memberikan kontribusi positif dalam pengembangan penelitian di bidang life sciences dan kesehatan," ungkap Gunadi di RSUP Dr Sardjito, Senin (22/9/2014).
Menurut dia, sejak tahun 2005, dia menempuh pendidikan master di Kobe University Jepang. Dia fokus pada penelitian terhadap sejumlah penyakit genetik pada anak dengan menerapkan diagnosis melalui pendekatan analisis genetika molekular.
Beberapa penelitian diantaranya mengkaji penyakit kelumpuhan otot pada anak (Spinal muscular atrophy), penyakit gangguan perkembangan kulit, rambut, dan kelenjar keringat (Hypohidrotic ectodermal dysplasia), dan epilepsi.
Sejak tahun 2010, dia fokus meneliti penyakit Hischprung atau Megakolon Kongenital. Ini merupakan kelainan bawaan yang terjadi karena penyumbatan saluran usus besar yang mengakibatkan pasien kesulitan buang air besar.
"Kasus seperti ini terjadi karena sebagian usus besar tidak mempunyai saraf yang mengendalikan kontraksi otot sehingga pergerakan usus tidak kuat," katanya.
Menurut dia tindakan pembedahan merupakan terapi yang harus dilakukan untuk membuang bagian usus yang tidak memilik persyarafan. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit bawaan yang kerap ditemui pada anak-anak. Dengan gejala mengalami keterlambatan buang air besar pertama saat lahir lebih dari 24 jam, perut kembung.
"Pada anak dengan usia lebih tua gejala ditandai dengan sulit buang air besar, perut kembung, infeksi usus, dan gagal tumbuh," katanya.
Dalam populasi dunia, lanjut dia, angka kejadian penyakit ini mencapai rasio 1:5.000. Bahkan tingkat kejadian terjadi lebih tinggi terjadi di Asia dengan rasio 1:3.500 orang setiap tahunnya.
"Dari penelitian yang kami lakukan sejak 2010 diketahui, terdapat peranan faktor genetik dalam kejadian penyakit megakolon kongenital ini. Sehingga tingkat kejadiannya akan berbeda-beda di setiap negara," katanya.
Dari 60 pasien penderita hischprung berusia di bawah 18 tahun yang berobat di RSUP Dr Sardjito diketahui terdapat peranan gen RET dan NRG1 Polymerfisme sebagai faktor risiko pembawa kemunculan penyakit hischprung pada anak.
Menurutnya, penyakit genetik merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak pada bayi berusia kurang dari satu tahun, salah satunya hischprung. Hanya saja penyakit bawaan ini di Indonesia masih sering diabaikan.
Menurut dia tidak sedikit pasien datang ke rumah sakit dalam tingkat keparahan tinggi seperti mengalami infeksi usus. Padahal penyakit ini bisa dideteksi sejak awal. Bahkan saat berada dalam kandungan juga bisa dideteksi.
"Dengan pendekatan diagnosis penyakit melalui analisis genetik molekular harapannya penyakit bisa terdeteksi sejak awal sehingga bisa memberikan intervensi lebih dini. Dengan begitu angka kesakitan dan kematian anak bisa diturunkan secara signifikan," katanya.
Dia berharap pendekatan tersebut bisa menjadi bagian dari pelayanan kesehatan rutin bagi masyarakat. Pasalnya selama ini hal tersebut belum masuk ke dalam pemeriksaan kesehatan rutin.
"Pemeriksaan darah masih terjangkau untuk masyarakat. Namun untuk pemeriksaan lebih lanjut seperti tes DNA butuh biaya besar. Jadi harapannya nantinya pemeriksaan genetika molekular bisa di-cover oleh BPJS Kesehatan," pungkas Gunadi.
(bgs/try)