"Hukum seberat-beratnya, kalau perlu tidak boleh ada remisi sama sekali dengan diundangkan, lalu perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana. Kalau itu dilakukan orang merasa akan dimiskinkan. Proses pemiskinan inilah yang akan membuat jera," kata Todung.
Pernyataan itu diungkapkan Todung ketika diwawancarai wartawan di Hotel Manhattan, Jakarta Selatan, Jumat (19/9/2014). Ia baru saja meluncurkan buku terbarunya berjudul 'Indeks Negara Hukum Indonesia 2013'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Korupsi terjadi karena masih banyak interaksi tatap muka yang terjadi," ucap sosok yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable (ILR) itu. Selain itu, transaksi non tunai juga harus diterapkan dalam pemerintahan Jokowi-JK nantinya.
"Membatasi jumlah transaksi tunai dalam bidang apapun itu akan mengurangi korupsi. Karena korupsi itu tunai. Kalau tidak tunai ditangkap oleh PPATK, dilacak," imbuh Todung.
Todung sebelumnya menentang keras adanya pemberian remisi fantastis yakni 29 bulan 10 hari terhadap terpidana kasus korupsi Anggodo Widjojo. Katanya, hal itu mencederai rasa keadilan, serta melukai dan melecehkan gerakan anti korupsi.
"Saya kira (dengan pemberian remisi fantastis ke Anggodo-red) rasa rasa keadilan kita tersinggung. Ini melukai dan melecehkan gerakan anti korupsi," imbuhnya.
(bar/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini