Keluhan warga ini akhirnya muncul setelah sekian lama, pengolahan tinja dan warga hidup 'rukun' berdampingan. Sejatinya, pengolahan limbah lebih dahulu ada di kawasan itu. Pada 1978, di area seluas 12 hektar dibangun kawasan pengolahan limbah tinja, yang juga digunakan untuk pupuk.
Kemudian pada 1983, satu persatu berdatangan warga membangun tempat tinggal di sekitar lokasi, hingga puluhan tahun kemudian seperti sekarang ini, lumayan padat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedang pihak pengelola pengolahan tinja berupaya mempertahankan. Lokasi pengolahan tinja ini salah satu 'penyelamat' Jakarta. Tak mungkin lagi pindah ke area lain, dengan tanah kosong dan jauh dari pemukiman yang semakin langka di Jakarta. Mereka berjanji akan berupaya memberi obat antibau agar aroma tak sedap bisa dikurangi.
Soal pelik limbah tinja ini memang pada akhirnya bak bom waktu. Antara kebutuhan pengolahan limbah tinja dan pemukiman warga. Siapa yang harus diselamatkan akan menjadi tantangan ke depan. Apakah limbah tinja yang mengalah atau warga yang harus pindah akan menjadi pekerjaan rumah pemangku kepentingan.
Pastinya Jakarta perlu pengolahan limbah tinja, tak mungkin juga dipindah ke daerah lain karena akan menimbulkan polemik. Tapi tuntutan warga juga perlu diperhatikan tak bisa didiamkan saja. Solusi terbaik harus diambil. Win win solution.
Bagaimana menurut Anda?
(edo/ndr)