"Ganti kerugian dalam PP Nomor 27 sangat kecil dan dirasakan tidak adil dan cenderung melukai rasa keadilan," kata Ketua Pengurus YLBHI Alvon Kurnia Palma, saat dihubungi detikcom, Rabu (17/9/2014).
Menurut Alvon, salah tangkap tidak selalu hanya merugikan sang korban. Namun sangat berpotensi secara tidak langsung merugikan keluarga dan orang-orang terdekat korban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PP Nomor 27 sendiri sudah 30 tahun digunakan. Padahal dinamika hukum dan perekonomian di Indonesia cepat berubah. Oleh sebab itu Alvon mendukung rencana LBH Mawar untuk mengajukan judicial review pasal terkait limitasi ganti rugi ini.
Salah satu contohnya yaitu kasus ketidak profesionalan penegak hukum dalam menyidik kasus pembunuhan tahun 2012 silam. Polisi dan jaksa menuduh Krisbayudi sebagai pelaku dan menahannya selama 251 hari. Hingga akhirnya terbukti tuduhan polisi hanyalah bualan semata. Sebab pembunuh sebenarnya adalah teman Krisbayudi, Rahmat Awafi.
Krisbayudi lantas mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut). PN Jakut mengabulkan praperadilan yang diajukan Krisbayudi dan menjatuhkan denda Rp 1 juta kepada Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Negeri Jakarta Utara (Kejari Jakut).
Putusan ganti rugi Krisbayudi mengingatkan kepada kasus Sri Mulyati yang juga didampingi LBH Mawar Saron cabang Semarang. Sri menjadi korban peradilan sesat dan telah mendekam selama 13 bulan di penjara. Atas kekejaman negara ini, Sri hanya mendapat ganti rugi Rp 5 juta.
(rna/asp)