Putusan Mahkamah Agung (MA) memenjarakan dr Bambang Suprapto selama 1,5 bulan penjara. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus ancaman pidana dalam UU Praktik Kedokteran yang dikenakan kepada dr Bambang.
dr Bambang dijerat dengan pasal 76 dan 79 huruf c UU Praktik Kedokteran. Padahal MK telah menghapus ancaman pidana penjara pada 19 Juni 2007. Sehingga pasal 76 berbunyi:
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling
banyak Rp 50 juta setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Namun siapa nyana, dr Bambang tetap dipenjarakan dengan pasal tersebut atas apa yang dilakukannya kepada pasien Johanes pada Oktober 2007. Alhasil, publik pun mengkritik keras putusan itu. Berikut kritikan yang ditujukan ke MA sebagaimana dicatat detikcom, Selasa (16/9/2014):
1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
|
"Kalau dia butuh bantuan hukum kita pasti siap membantu. Kita juga sedang menunggu laporan Biro Hukum IDI untuk melihat duduk perkaranya," ujar Ketua IDI, dr Zainal Abidin.
Zainal menegaskan, vonis penjara yang diberikan oleh majelis kasasi yang diketuai hakim agung Artidjo Alkotsar adalah hal yang keliru. Dia mengatakan, hukuman untuk dokter Bambang yang tidak memiliki izin ialah hukuman denda.
"Itu majelisnya salah! Harusnya hukuman itu denda,karena kita kan sudah judicial review waktu itu ke MK," ucap dr Zainal.
Dia mengatakan, sejak kemarin sudah banyak yang menghubungi terkait kasus malpraktik hukum yang dialami oleh dokter Bambang. Zainal belum mengambil sikap terkait langkah hukum kepada majelis MA yang diyakininya tidak cermat.
"Kita tunggu laporan IDI cabang setempat karena kita harus lihat detail dulu baru bisa mengambil sikap," terang dr Zainal.
2. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Indonesia
|
"Kalau mau dipidana terkait surat izin, ya direktur rumah sakitnya. Jadi dokter itu sanksinya perdata (denda)," ujar Ketua MKEK dr Prijo Sidipratomo SpRad.
Prijo mengatakan putusan kepada dokter bambang yang diketok ketua majelis kasasi hakim agung Artidjo Alkotsar sangat salah. Dia menilai, para majelis kasasi tidak mengerti tentang hukum di dunia kedokteran.
"Perlu dicatat, bahwa tidak ada satu dokter pun yang berniat ingin membunuh pasiennya. Majelis ini terutama Pak Artidjo tidak punya kompetensi, mereka ini maunya memenjarakan orang saja," tegas dr Prijo.
Lanjut, dia meminta agar semua majelis hakim dan penegak hukum untuk selalu cermat dalam memutus perkara yang melibatkan pihak dokter. Menurutnya, kasus yang melibatkan dunia kedokteran tidak bisa dipandang lewat kacamata pidana.
"Bukan berarti minta dokter tidak dihukum. Tapi kalau mau dihukum, hukumlah secara tepat," pungkas dr Prijo.
3. Ahli Pidana
|
"Ini fatal sekali. MA yang harusnya judex juris malah salah. Patut dipertanyakan apakah para hakim ini mengikuti putusan MK atau tidak," ujar Mudzakir.
Mudzakir bahkan meminta dijatuhkan sanksi kepada para hakim dengan adanya putusan ngawur ini. Apalagi, kata Mudzakir, ketua majelis kasus ini juga pernah salah dalam memutus perkara dokter Ayu yang kini sudah dibebaskan.
"Kalau perlu semua yang pernah diadili majelisnya ajukan PK saja lagi. Biar nanti dievaluasi majelis lain supaya ketahuan mana putusannya yang benar mana yang salah," ucapnya.
Mudzakir juga menambahkan, sebaiknya terdakwa diberi kompensasi karena divonis dengan hukuman yang sudah tidak berlaku.
"Harus segera direvisi dengan ajukan PK," ucapnya.
4. Pakar Hukum Kesehatan
|
"Harusnya para hakim agung mencermati apa-apa saja putusan MK. Karena putusan yang dibuat MK sangat berkorelasi dengan kinerja hakim," ucap Luthfi.
Luthfi mengatakan hal yang dilakukan oleh 3 hakim agung dalam sidang dr Bambang sangat tidak profesional.
"Saya umpamakan tindakan ketiga hakim itu kalau dikedokteran, sama saja dengan tindakan di luar profesional," ucap kandidat doktor itu.
Selain itu, dia juga meminta supaya terdakwa untuk melakukan peninjauan kembali (PK). "Jadi jaksa jangan laksanakan putusan itu, terdakwa lakukan PK," ujar pengajar Megister Hukum Kesehatan FH UGM itu.
5. Komisi III DPR
|
"Sebenarnya kalau nggak berlaku di MK, tidak boleh (diberlakukan). Ah karut-marut itu MA memutuskan itu," kata anggota Komisi III DPR, Otong Abdurahman.
MK menghapus ancaman pidana pasal itu pada 19 Juni 2007. Adapun dr Bambang dituduh tidak memiliki izin praktik di RS DKT Madiun tapi melakukan operasi kepada pasien bernama Johanes pada 25 Oktober 2007. Johanes meninggal dunia pada 20 Juli 2008. Atas hal itu, dr Bambang dibawa ke pengadilan dengan tuduhan tidak memiliki izin praktik.
Pada 30 Oktober 2013, ketua majelis kasasi Dr Artidjo Alkostar dengan hakim anggota Prof Dr Surya Jaya dan Dr Andi Samsan Nganro menjatuhkan hukuman 1,5 tahun penjara kepada dr Bambang.
"Jangan sampai di lembaga hukum sampai karut-marut. MK sudah menilai pasal itu sudah digugurkan. Pakailah putusan MK," cetus Otong.
6. Komisi Yudisial (KY)
|
"Dokternya bisa PK. Putusan itu masuk teknis yudisial. KY ingin baca lengkap putusannya, kalau ada indikasi pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, misal unprofessional conduct ya bisa ditindaklanjuti," kata komisioner KY Imam Anshori Saleh.
Menurut Imam, bisa saja hakimnya belum paham dengan putusan MK tersebut. Oleh sebab itu harus ditelaah lebih jauh.
"Karena itu apakah ada dalam pertimbangan hukum soal putusan MK itu atau belum akan menjadi bahan telaah," tuturnya.
Halaman 2 dari 7