Aktivis Greenpeace mengkritisi hancurnya lahan gambut di Riau. Mereka berkabung dengan menempatkan karangan bunga bentuk duta cita atas hancurnya kawasan gambut Indonesia.
Karangan bunga duta cita itu, mereka pajang di hamparan lahan gambut yang terbakar di Riau, Senin (15/9/2014). Tepatnya karangan bunga itu mereka pajang di Desa Tanjung Leban, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) Riau.
Karangan bunga itu sebagai bentuk keprihatinan atas pembukaan lahan gambut. Malah kondisi lahan gambut di Riau terkesan sengaja dibakar untuk aligfungsi perkebunan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami berdiri di atas gambut yang seharusnya dilindungi sesuai dengan peta moratorium pembukaan hutan. Namum pembukaan dan pengeringan di keseluruhan wilayah ini telah menyebabkan tanah menjadi kering dan mudah terbakar. Kehancuran atas kebakaran dan kabut asap menjadi situasi yang tak terhindarkan," tambahnya.
Rusmadya menyebutkan, gambut kering dan alih fungsi hutan untuk perkebunan telah melepas cukup banyak gas emisi untuk memposisikan Indonesia di antara tiga negara dunia tertinggi pelepas gas emisi. Hal ini akan berisiko atas komitmen Presiden SBY kepada dunia untuk mengurangi emisi negaranya antara 26 dan 41 persen pada 2020.
"Sayangnya tanggapan presiden atas krisis gambut tidak tepat sasaran. Draf regulasi gambut yang tengah menunggu tandatangannya gagal melindungi gambut sebagai lansekap ekosistem dan kawasan gambut di dalam konsesi yang ada. Menghancurkan satu bagian dari kubah gambut bisa mendorong matinya bagian yang dilindungi melalui pengeringan serta pengaruh dari lingkungan sekitarnya," urai dia.
Yuyun Indradi, Juru kampanye Politik Hutan Greenpeace mendesak presiden untuk tidak menandatangani regulasi gambut yang masih lemah tersebut di hari-hari akhir jabatannya.
"Gambut Indonesia sekarat. Mereka butuh perlindungan kuat dan komprehensif, tetapi draf peraturan gambut yang ada tidak membuktikan itu. Tandatangan SBY pada peraturan itu merupakan lonceng kematian bagi gambut Indonesia," kata Yuyun.
(cha/ndr)