Kisah Prof Tjandra Yoga yang Jadi Dokter Darurat di Pesawat

Kisah Prof Tjandra Yoga yang Jadi Dokter Darurat di Pesawat

- detikNews
Jumat, 12 Sep 2014 10:06 WIB
Jakarta -

Prof Tjandra Yoga Aditama yang sekarang menjabat Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan punya sejumlah pengalaman saat di pesawat dalam sebuah penerbangan. Tentunya pengalaman yang dimaksud terkait dengan pasien yang sakit di pesawat. Prof Tjandra berbagi pengalaman-pengalaman itu.

"Dalam perjalanan kembali dari mengikuti joint Coordination Board Tropical Diseases Research (JCB TDR) di Jenewa pada akhir Juni 2014, saya menggunakan pesawat Etihad dari Jenewa ke Abu Dhabi, dan lalu dari Abu Dhabi ke Jakarta. Pada sektor ke dua Abu Dhabi Jakarta saya mendapat dua kejadian menarik," jelas Tjandra mengawali ceritanya, Jumat (12/9/2014).

Tjandra menuturkan, kejadia pertama, di tengah penerbangan diumumkan apakah ada dokter di pesawat karena ada penumpang yang sakit. "Saya lalu memberitahu pramugari bahwa saya bisa membantu. Saya sebelumnya sudah 6 kali mengalami panggilan di pesawat seperti ini‎, hanya yang dengan Etihad memang agak berbeda," imbuh dia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika Tjandra datang, ternyata sang pasien adalah seorang Ibu, usia 60 tahun yang juga jamaah Umroh asal Pontianak Kalimantan Barat. "Keluhannya tidak terlalu berat, Alhamdullillah bisa ditangani dengan baik. Hanya saja, rupanya kebijakan Etihad tentang kotak obat berbeda dengan maskapai penerbangan lain," imbuh dia.‎

Awak pesawat, lanjut Tjandra, memberi dia tensimeter, stetoskop, dan termometer untuk memeriksa. Tapi saat Tjandra meminta lampu senter untuk memeriksa, katanya ada dalam kotak obat, yang untuk membukanya harus ada izin dari dokter mereka di darat. Begitu juga ketika saya minta obat hipertensi, yang tidak bisa berikan karena harus dapat izin dulu dari tim dokter mereka di darat, yang tidak berhasil dihubungi melalui telepon.

"Sampai pesawat hampir mendarat maka awak pesawat tidak berhasil menghubungi petugas kesehatan mereka, dan akhirnya saya sampaikan agar mereka langsung saja menghubungi Kantor Kesehatan (KKP) Pelabuhan Soekarno Hatta‎, yang kemudian sudah siap dengan petugas kita," urai dia.

Pengalaman Tjandra lainnya saat di Singapore Airlines. Dia pernah dua kali dipanggil menjadi dokter dadakan di pesawat. Di kedua penerbangan itu awak pesawat langsung menyiapkan kotak obat dan alat kesehatan yang masih disegel, dan kemudian dibuka di depan Tjandra.


"Di dalamnya ada daftar alat dan obat, jadi ketika saya minta stetoskop misalnya, maka lalu diambil dalam amplop nomor sekian, waktu saya minta obat tertentu maka langsung bungkus obatnya dibuka, dan seterusnya. Setelah selesai pengobatan maka saya diminta tanda tangan, dan -hebatnya- kepada saya diberi kupon belanja 100 US$," ujar dia.

"Pengalaman lain adalah dengan KLM, saya sedang terbang dari Jakarta ke Amsterdam lalu ke Geneve untuk rapat WHO.‎ Ada seorang Ibu usia 80 tahun yang kupingnya luka karena terjatuh. Awak pesawat juga membuka kotak obat dan saya memasang pembalut dll, bahkan sebenarnya ada peralatan untuk menjahit tapi tidak saya lakukan karena lukanya dapat diatasi dengan pembalut ketat. Sesudah selesai tindakan maka pimpinan pramugari datang ke saya mengucapkan terimakasih, dan memberikan "champagne" 1 botol, yang akhirnya saya berikan ke teman WHO di Geneve," tambahnya lagi.

Di maskapai di Indonesia juga sudah dua kali‎ bertindak di atas Garuda untuk penerbangan internasional, selain juga domestik. Pengalaman pertama adalah ketika terbang dari Jeddah ke Jakarta sebagai petugas kesehatan Haji, 1 tahun sesudah peristiwa terowongan Mina.

"Di pesawat ada seorang Ibu hamil tua, yang sebenarnya pihak Garuda tidak mau menerimanya tapi pihak bandara Jeddah mengatakan harus dibawa. Ini kejadian sebelum diberlakukannya International Health Regulation (IHR) 2005, sehingga mungkin aturan belum baku adanya. Saya dihubungi pramugara dan diminta siap-siap membantu kalau diperlukan. Alhamdullilah pasien baik-baik saja, dan pimpinan pramugara berterimakasih ke saya dengan cara memindahkan saya dari kelas ekonomi ke kelas bussiness," urainya.

Tjandra kembali melanjutkan ceritanya, pengalaman ke dua di Garuda adalah ketika akan mengikuti pertemuan tuberkulosis di Manila, di mana sekitar 10 menit sebelum mendarat ada seorang pria Arab, gemuk, mengeluh sakit dada. Karena pesawat sudah akan mendarat maka Tjandra praktis tidak melakukan apa-apa, hanya keluarganya saja menekan dada pasien itu keras-keras, mungkin suatu bentuk cara mengatasi keluhan secara tradisional.

"Pengalaman satu lagi adalah di pesawat Korean Air dari Amerika ke Seoul. Ada seorang pria sakit, ketika saya datang ke kursinya maka ternyata s‎edang diobati oleh pengobat tradisional Korea, dan saya kembali ke kursi saya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk masyarakat Korea maka pengobatan tradisional juga punya peran tersendiri, apalagi pengobatnya bicara dalam bahasa Korea juga. Untuk kasus ini saya kemudian diminta datang lagi dan saya berikan obat anti sakit," tuturnya.

"Selain kejadian mengobati pasien, saya mengalami kejadian menarik ke dua Etihad Airways ini. Di pesawat ini para penumpang bussiness class bisa salat dengan berdiri disamping pintu darurat. Awak pesawat menyediakan sajadah‎ dan memberi tahu arah kiblat, yang tentunya berubah-ubah sesuai dengan arah pesawat. Ini pengalaman pertama saya untuk sholat di angkasa, jauh di atas bumi‎, rasanya kok lebih khusuk, mungkin karena merasa dekat ke "atas"," tutupnya.

(ndr/mad)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads