Presiden Direktur PT Kaltim Parna Industri/Direktur Utama PT Parna Raya, Artha Meris Simbolon didakwa menyuap Rudi Rubiandini saat menjabat Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dengan uang US$ 522.500. Suap yang dilakukan bersama-sama Komisaris PT Kaltim Parna Industri, Marihad Simbolon ini terkait formula harga gas.
"Terdakwa mengetahui pemberian uang yang seluruhnya berjumlah US$ 522.500 kepada Rudi Rubiandini selaku Kepala SKK Migas melalui Deviardi denhan maksud agar Rudi Rubiandini memberikan rekomendasi/persetujuan untuk menurunkan formula harga gas untuk PT Kaltim Parna Industri kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral," kata jaksa KPK Irene Putri membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (11/9/2014).
Permintaan bantuan Artha Meris ke Rudi Rubiandini berawal dari ditolaknya permohonan Marihad Simbolon ke Menteri ESDM pada November 2012 terkait usulan penyesuaian formula gas untuk PT KPI. Permohonan ini direspon dengan rapat Kementerian ESDM dan SKK Migas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun belakangan dalam evaluasi Kementerian ESDM melalui Divisi Komersialisasi Gas Bumi, dihasilkan kesimpulan terkait usulan penurunan/perubahan formula harga gas PT KPI tidak diperlukan sebab formula harga saat itu masih memberikan profit bagi PT KPI. Penurunan/perubahan formula harga gas dalam analisa yang dibuat disebut akan mengakibatkan penurunan penerimaan negara.
Selanjutnya pada sekitar bulan Maret tahun 2013 di kantor SKK Migas, Rudi Rubiandini bertemu dengan Marihad Simbolon. "Dalam pertemuan tersebut Marihad Simbolon menyampaikan keluhan kepada Rudi Rubiandini mengenai tingginya formula harga gas untuk PT KPI yang dapat mengakibatkan PT KPI tutup dan melakukan PHK," papar jaksa.
Keluhan yang sama diungkapkan Marihad ketika bermain golf di Gunung Geulis Country Club Bogor bersama Rudi Rubiandini dan Deviardi pada 24 Maret 2013. Kala itu Marihad memperkenalkan Artha Meris kepada Rudi dan Deviardi. Rudi lantas meminta agar komunikasi lanjutan dilakukan melalui Deviardi.
Pada pertemuan, Marihad menjelaskan kembali kepada Rudi soal adanya perbedaan pengenaan formula harga gas PT KPI yang lebih tingggi dibandingkan dengan PT Kaltim Pasifik Amoniak (KPA), meski sumber gasnya sama-sama berasal dari Bontang. Dua hal yang disampaikan Marihad ke Rudi yakni soal akan bangkrutnya PT KPI bila tidak ada perubahan formula harga gas termasuk terganggunya ketersediaan Amoniak dari Kalimantan Timur sebagai akibat suplai dari PT KPI yang terhenti.
"PT KPI mengusulkan agar formula harga gas PT KPI ditunrunkan sedikit agar harga gas yang dibayarkan oleh PT KPI dapat lebih rendah," kata jaksa menyebut permintaan Marihad ke Rudi.
Kepada Marihad, Rudi menjanjikan akan mencarikan solusi termasuk berkoordinasi dengan Bidang Komersialisasi Gas. "Dan hasilnya kemudian akan direkomendasikan kepada Kementerian ESDM cq Dirjen Migas sebagai bahan pengambilan putusan," sambung jaksa.
Pemberian uang ke Rudi melalui Deviardi untuk memuluskan permohonan ini dilakukan 4 tahap. Pertama, pada April 2013, Artha Meris menyerahkan uang US$ 250 ribu ke Deviardi di Hotel Sari Pan Pasific Jakpus. "Mas Ardi ini titipan untuk Pak Rudi," kata Artha Meris kepada Deviardi seperti dibacakan jaksa.
Pemberian kedua terjadi juga pada bulan April 2013 di Cafe NANINI Plaza Senayan. Artha Meris memberikan uang titipan US$ 22.500 ke Deviardi sekaligus menyerahkan dokumen terkait permohonan sebelumnya.
Artha Meris memberikan duit tahap ketiga sebesar US$ 50 ribu pada 1 Agustus 2013 melalui Deviardi di parkiran McDonald Kemang Jaksel. "Terdakwa juga mengingatkan Deviardi terkait surat rekomendasi dari Rudi Rubiandini untuk penyesuaian formulasi harga PT KPI," sebut jaksa.
Pemberian keempat yakni uang US$ 200 ribu diserahkan Artha Meris melalui sopirnya bernama Mukhamad Abror kepada Deviardi di parkiran Sate Senayan Menteng Jakpus pada 3 Agustus 2013.
Artha Meris terancam pidana Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. (fdn/mok)