Pemohon 'Legalisasi Perkawinan Beda Agama' Petakan Pandangan Agama di RI

Pemohon 'Legalisasi Perkawinan Beda Agama' Petakan Pandangan Agama di RI

- detikNews
Jumat, 05 Sep 2014 14:59 WIB
Pemohon Legalisasi Perkawinan Beda Agama Petakan Pandangan Agama di RI
Jakarta - 4 Alumnus dan 1 mahasiswi Fakulas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) memohon legalisasi perkawinan beda agama kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Namun langkah mereka menggugat pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu menuai kontroversi.

Mereka yang menggugat adalah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata dan Anbar Jayadi. Kelimanya dalam gugatannya tidak menyinggung hukum agama. Yang mereka inginkan adalah negara melalui hukum positif menyatakan perkawinan beda agama legal, walau di mata hukum agama hal itu dilarang.

"Dalam agama tertentu bahkan tidak ada kesamaan cara pandang mengenai boleh atau tidaknya perkawinan beda agama dan kepercayaan dilakukan," tulis salah satu pemohon bernama Damian dalam salinan permohonan yang dikutip detikcom, Jumat (5/9/2014)

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Keadaan yang penuh dengan ketidakjelasan ini ketika dipertemukan dengan ketentuan pasal 2 ayat 1 UU No 1/1974 semakin menyebabkan ketidakpastian yang harus dihadapi oleh warga negara yang jalan hidupnya tertaut dengan warga negara lain yang berbeda agama dan kepercayaanβ€Ž," tambah Damian.

β€ŽOleh karena itu, mereka memasukan aturan perkawinan beda agama menurut 5 agama dan 1 keyakinan yang diakui pemerintah Indonesia. Aturan-aturan itu adalah sebagai berikut:

Agama Islam

ilustrasi masjid (ari saputra/detikcom)
Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki nonmuslim dan perkawinan jenis ini tanpa memedulikan apakah laki-lakinya adalah musyrik atau ahli kitab– dilarang secara tegas melalui Surat Al-Baqarah ayat 221. Tapi berbeda jika pihak laki-laki adalah muslim.

Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslin dibagi ke dalam 2 kriteria, yaituβ€Ž perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan musyrik, yang mana hal ini dilarang melalui Surat Al-Baqarah ayat 221 dan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab, yang mana menurut A Basiq Jalil dalam tesisnya 'Kajian para Ahli Agama, Fuqaha dan Kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan Lintas Agama' dan juga Ichtiyanto dalam disertasinya 'Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia', terdapat setidaknya 3 pandangan.

Golongan pertama, yaitu Jumhur Ulama berpendapat bahwa perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab (pengikut Yahudi dan Nasrani) diperbolehkan, sedangkan di luar Yahudi dan Nasrani hukumnya haram. Hal ini didasarkan pada surat Al-Maidah ayat 5.

Golongan kedua berpendapat bahwa mengawini perempuan nonmuslim haram hukumnya. Pandangan ini dianut oleh Ibnu Umar dan Syi'ah Imamiah. Dengan mendasarkan dalilnya pada Surat Al-Baqarah ayat 221 dan surat Al-Mumtahanah ayat 10, golongan ini mendalilkan laki-laki muslim dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita nonmuslim.

Golongan ketiga berpandangan moderat, bahwa mengawini perempuan ahli kitab hukum asalnya halal. Namun situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain, terutama konteks sosial politik karena kekhawatiran dan fitnah dalam kehidupan agama suami dan anak-anak. Alasan ini didasari oleh pendapat para sahabat nabi.

Agama Kristen

ilustrasi (dok.detikcom)

Dalam pandangan Kristen, khususnya Protestan, perkawinan hakiki adalah sesuatu yang bersifat kemasyarakatan dan memiliki aspek kekudusan. Perkawinan dilihat sebagai persekutuan badaniah dan rohaniah antara pria dan wanita dengan tujuan kebahagiaan.

Namun ada dua pandangan dari Kristen terhadap perkawinan beda agama. Pandangan pertama melarang perkawinan beda agama, yang didasari pada Injil Korintus 6:14-18. Jika perkawinan beda agama terjadi, menurut pandangan pertama, pihak yang beragama Kristen bisa dikeluarkan dari keanggotaan jamaah gereja.

Pandangan kedua memperbolehkan namun ada syaratnya yakni perkawinan digelar secara sipil dan keduabelah pihak tetap menganut agamanya masing-masing dan untuk pasangan yang menikah beda agama itu diadakan penggembalaan khusus. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa Kristen tidak menghalangi kalau terjadi perkawinan beda agama.

Namun dalam pandangan kedua, pihak gereja biasanya tidak memberkati perkawinan mereka. Namun ada juga gereja yang memberkati dengan ketentuan pihak non Kristen bersedia ikut agama Protestan (hal ini tidak berarti pindah agama).

Agama Katolik

ilustrasi (dok.detikcom)
Agama Katolik melihat perkawinan yang ideal adalah yang bersifat sakramen. Artinya dua orang yang hendak kawin telah dibabtis. Namun gereja Katolik memberikan ruang untuk perkawinan beda agama berdasarkan Kanon 1086.

Dalam Kanon itu diatur perkawinan antara 1 orang yang telah dibabtis dalam gereja Katolik dan yang tidak dibabtis (non-Katolik/Kristen)β€Ž dengan dispensasi memenuhi Kanon 1125. Kanon 1125 mengatur syarat-syarat perkawinan beda agama.

Syarat-syarat itu berupa, pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meningggalkan iman serta memberikan janji jujur bahwa ia akan berbuat segalanya agar anak-anaknya dibabtis dan dididik dalam gereja Katolik.

Syarat kedua adalah mengenai janji-janji yang harus dibuat pihak Katolik telah diberitahukan kepada pihak non-Katolik sehingga pihak non-Katolik mengerti dan menyadari kewajiban pihak Katolik. Syarat ketiga yaitu, kedua pihak menjalankan tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh keduanya (tidak bercerai, selingkuh, memiliki suami/istri lebih dari satu dan sebagainya).

Walau begitu, agama Katolik pada dasarnya melarang perkawinan beda agama.

Agama Budha

Menurut Sangha Agung Indonesia, dalam QS Eoh, perkawinan beda agama diperbolehkan, asal pengesahannya dilakukan menurut tata cara agama Budha. Calon mempelai yang bukan Budha tidak diharuskan berpindah agama, tapi dalam ritual upacara perkawinan, calon mempelai non-Budha wajib mengucapkan 'Atas Nama Sang Budha', 'Dharma' dan 'Sangka'.

Menurut Bhiksu Prajnavitra Mahasthavira, perkawinan adalah sebuah dharma dan tidak terlepas dari ajaran moral. Sehingga pemberkatan untuk kedua mempelai harus dilakukanβ€Ž. Namun agama Budha mengutamakan pemberkatan itu bisa dilakukan untuk pasangan yang tidak berbeda agama.

Akan tetapi, banyak penganut agama Budha menikah dengan orang yang non-Budha. Sehingga Bhiksu Prajnavitra melihat hal ini sebagai sesuatu yang fleksibel asalkan tidak melanggar Dharma dan menyimpang dari nilai-nilai moral.

Agama Hindu

β€ŽDalam agama Hindu, perkawinan biasa disebut pawiwahan (wiwaha) yakni ikatan seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak laki-laki yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smerti.

Menurut hukum agama Hindu, perkawinan itu sah apabila dilakukan di hadapan pendeta. Bila ada salah satunya bukan beragama Hindu, maka ia diwajibkan menjadi penganut agama Hindu.

Sebelum hari perkawinan harus dibuatkan upacara sudhiwadani yang mengandung pengertian menyucikan ucapan atau mengubah tatanan, baik dari sudut perilaku, ucapan dan pikiran tentang keyakinan serta kepercayaan ke hadapan Tuhan, harus sesuai dengan tatanan pelaksanaan agama Hindu.

Adapun persyaratan untuk melakukan upacara suhdiwadhani yaitu pernyataan diri dari salah satu mempelai akan mengalihkan agama menjadi agama Hindu, kecuali umurnya di bawah 25 tahun diperlukan surat pernyataan persetujuan dari orang tuanya bahwa akan mengalihkan agama menjadi agama Hindu.

Syarat kedua yaitu surat keterangan dari penjuru Banjar (Kelihan Adat) atau mengusulkan kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia atau Bimas Hindu setempat untuk diminta pengesahannya berupa piagam. β€Ž Sehingga menunjukkan agama Hindu tidak mengenal adanya perkawinan antar agama (beda agama) karena terhadap pasangan yang salah satunya tidak beragama Hindu harus terlebih dahulu dilakukan upacara keagamaan mengalihkan agamanya menjadi Hindu.

Kepercayaan Konghucu

ilustrasi (dok.detikcom)
Dalam aliran kepercayaan Konghucu tidak terdapat aturan khusus yang membolehkan atau melarang perkawinan 2Β  insan yang berbeda keyakinan. Sebuah perkawinan dinyatakan sah apabila terjadi antara laki-laki dan perempuan dewasa, tidak ada unsur paksaan, disetujui atau atas kemauan kedua belah pihak, mendapat restu kedua orang tua atau yang dituakan, diteguhkan dalam sebuah upacara keagamaan, meski untuk salah satu tidak diharuskan berpindah keyakinan terlebih dahulu.

Pandangan tokoh dan ahli aliran kepercayaan Konghucu juga tidak melarang adanya perkawinan antara 2 insan yang berbeda keyakinan
Halaman 2 dari 7
(vid/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads