Mahkamah Agung (MA) terbelah saat mengabulkan vonis peninjauan kembali (PK) praperadilan yang diajukan oleh Mabes Polri. Hakim agung Syarifuddin menolak mengabulkan karena berdasarkan UU, MA tidak berwenang mengadili PK praperadilan.
Kasus bermula saat warga Hong Kong, TKS, melaporkan dugaan penipuan dan penggelapan dengan nilai jutaan dolar yang dilakukan oleh CJ dan GJ ke Mabes Polri pada 20 April 2004. Namun setelah diteliti lebih dalam, Mabes Polri menilai kasus tersebut bukan kasus pidana dan keluarlah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada 20 Juli 2004 yang ditandatangani Brigjen Samuel Ismoko.
Atas hal itu, pelapor lalu mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan dikabulkan. Pada 19 Oktober 2012, PN Jaksel menyatakan SP3 kasus tersebut tidak sah dan memerintahkan Mabes Polri melanjutkan penyidikan dugaan kasus pidana dan penggelapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, di tingkat PK inilah MA terbelah. Hakim agung Syarifuddin menolak tegas permohonan praperadilan tersebut. Berdasarkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, PK hanya diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.
"Hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK. Itu artinya putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap yang berisi pemidanaan terhadap terdakwanya, dengan kecuali juga terhadap terdakwanya dibebaskan atau terdakwanya dilepaskan dari dakwaan atau tuntutan hukum. Atau dengan kata lain hanya putusan yang telah mengadili pokok perkara," cetus Syarifuddin yang tertuang dalam putusan PK sebagaimana dilansir website Mahakamah Agung (MA), Kamis (4/9/2014).
Pasal 263 selengkapnya berbunyi:
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
"Oleh karena dalam putusan praperadilan belum ada terdakwanya, melainkan hanya tersangka, karena memang belum mengadili pokok perkara, maka terhadap putusan praperadilan tidak termasuk ke dalam pengertian putusan perkara yang berkekuatan hukum tetap yang dapat diajukan PK," ujar mantan Kepala Badan Pegawasan (Bawas) MA itu.
Apalagi, berdasarkan pasal 45 A ayat 1 dan 2 UU No 5/2004 jo UU No 3/2009, perkara praperadilan merupakan perkara yang dikecualikan sebagai perkara yang tidak memenuhi syarat untuk diajukan kasasi.
"Putusan praperadilan sudah tidak diperkenankan untuk dijukan apalagi upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa yaitu PK tentu dilarang pula," kata Syarifuddin.
Namun apa daya, suara Syarifuddin kalah dengan suara Andi Abu Ayyub dan Sofyan Sitompul. Alhasil, meski melanggar KUHAP dan UU Mahkamah Agung, praperadilan PK pun dikabulkan.
"Mengabulkan permohonan PK Kapolri cq Bareskrim cq Direktur II Ekonomi dan Khusus. Menolak permohonan praperadilan Toh Keng Siong," ucap majelis pada 23 Desember 2013 lalu.
(asp/nrl)