Ini Jurus Polri Tegakkan Hukum di Papua

Ini Jurus Polri Tegakkan Hukum di Papua

- detikNews
Kamis, 28 Agu 2014 18:17 WIB
Jakarta - Asisten Kapolri Bidang Perencanaan (Arsena) Irjen Tito Karnavian mengatakan terdapat empat tipologi masyarakat Papua. Setiap tipologi memiliki cara dan penanganan tersendiri.

Mantan Kepala Kepolisian Daerah Papua ini mengatakan, tipikal yang pertama adalah masyarakat yang sudah mengenal 'gadget' atau pun internet, seperti di Jayapura, Manokwari, Sorong, Nabire, Timika dan lainnya.

Selain itu ada masyarakat industri seperti Freeport di Timika, Bintuni dan lainnya, masyarakat industri yang karakternya berbeda. Kemudian ada masyarakat pertanian yang mayoritas di Papua

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Lalu terakhir ada masyarakat pra pertanian, ini tidak ada di Jawa, di Jakarta terutama. Masyarakat pra pertanian masih sangat tradisional sekali. Mereka masih memegang ulayat.‎ Semua tipologi ini punya strategi dan penanganan tersendiri," ‎kata Tito usai acara peluncuran karyanya bertajuk 'Bhayangkara di Bumi Cendrawasih' yang digelar di gedung PTIK, Jalan Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (28/9/2014).

‎Lalu bagaimana strateginya? Menurut Tito, penanganangya harus beradaptasi dengan masyarakat. Seperti bintara perwira diberi pemahaman karaktestik budaya masyarakat setempat agar responsif.

"Dengan masyarakat pra pertanian, kita frekuensinya harus sama. Kita jangan terlalu bergaya intelektual kepada mereka yang membuat mereka menjadi bingung. Harus menggunakan bahasa, maksud saya bukan bahasa oral, menggunakan bahasa dan setting sesuai settingnya mereka," ujarnya.

Menurut Kepala Densus 88 Anti Teror Polri 2009 - 2011 ini, untuk tipologi masyarakat industri informatif, maka hukum nasional yang diterapkan.Tapi untuk masyarakat tradisional, harus dilihat mana yang terbaik apakah menggunakan hukum adat atau hukum nasional.

Sebab terkadang hukum nasional tidak efektif di masyarakat adat. Contohnya dalam kasus pembunuhan. Kata Tito, pembunuhan di hukum nasional yang berlaku, yaitu pelaku ditangkap masuk penjara. Namun tidak ada treatmen atau kompensasi kepada keluarga korban.

Dalam hukum adat, yang diutamakan bukan penghukuman, tapi tersangka atau keluarganya mengganti denda untuk keluarga yang ditinggalkan.

"Itu dulu yang diakomodir baru tindakan ke pelakunya. Jadi percuma kita tangkap pelakunya lalu masuk penjara. Diproses hukum tapi bagi masyarakat adat belum selesai. Karena belum bayar uang kepala, bayar kepala, maka itu akan dikejar terus akan dibalas dan seterusnya," tuturnya.

"Dalam beberapa kasus tertentu dua-duanya bisa diterapkan baik hukum nasional maupun hukum adat tergantung situasi," Tito menambahkan.

Tito mengatakan, anggota polisi yang bertugas di Papua harus mampu beradaptasi dengan masyarakat setempat, sehingga bisa menyatu dengan warga. Seperti halnya saat ada kegiatan adat seperti Bakar Batu (Potong Babi).

"Itu menarik sekali karena kita harus masuk dalam frekuensi. Kita harus beradaptasi sehingga satu frekuensi. Jadi kalau ada bakar batu, ya kita harus duduk juga, kemudian meskipun saya muslim tidak makan babi, tapi paling tidak saya hadir di sana, dan mereka hargai," ujarnya.

Karena itu, Tito pun berpesan kepada anggota Polri yang bertugas di Papua, untuk mengenal betul karakteristik masyarakat yang ada di sana.

"Untuk teman-teman polisi di Papua, saya harap mereka untuk memahami betul karakteristik masyarakat setempat dan mau beradaptasi dengan masyarakat setempat. Lalu nikmati dengan tugas di mana pun berada‎," tutupnya.

(idh/kha)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads