Siapa tak kenal Pangeran Diponegoro. Panglima Perang Jawa membuat kalang kabut Belanda. Bahkan pada saat perang terjadi pada 1825-1830, Belanda sampai memanggil pasukan marsose dari sejumlah wilayah nusantara.
Saleh A Djamhari, seorang pensiunan tentara, melalui bukunya 'Strategi Menjinakkan Diponegoro' coba mengingatkan kembali bagaimana sulitnya Belanda menaklukan Pangeran Diponegoro. Beragam strategi diterapkan untuk menangkap Diponegro.
"Diponegoro sulit ditaklukan, hal itu diakui oleh belanda. Belanda saat itu harus hemat-hemat karena Perang Diponegoro sangat menghabiskan dana," kata Saleh dalam diskusi terkait bukunya, di Freedom Institute, Jl Proklamasi, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2015) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu strategi perang Pangeran Diponegoro yang membuat Belanda Kewalahan adalah strategi artisi atau strategi penggerogotan. Strategi yang mengutamakan penguasaan wilayah tanpa peduli itu diduduki lawan atau kawan.
Strategi ini membuat Belanda mengeluarkan biaya besar untuk membangun begitu banyak benteng. Benteng dibangun di beberapa daerah untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro.
"Jenderal de Kock bilang 'kami tidak hanya perang melawan Diponegoro, tapi perang melawan orang Jawa. Setelah kedua belah pihak lelah berperang, terutama kewalahan dalam hal logistik. Belanda mulai mendekati ahli budaya Jawa," tutur Saleh.
Di sini lah bencana berawal. Jenderal de Kock merasa jika upayanya selama ini sia-sia. Segala macam strategi perang secara fisik dinilai tak membuahkan hasil. Ia pun memanfaatkan ahli budaya Jawa untuk mencari kelemahan Diponegoro. Dengan berkedok ajakan berunding, Belanda akhirnya berhasil menangkap Pangeran Diponegoro.
(rna/ndr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini