"Saya dulu lagi nongkrong di TIM (Taman Ismail Marzuki) diminta jadi koordinator 15 NGO untuk Pemilu. Mulai dari buat polling, iklan Inga-inga, sampai buat modul-modul. Dananya besar, Rp 25 Miliar. Kebodohan terbesar saya adalah mengapa saat itu saya tidak korupsi," cerita Garin.
Pengalaman Garin itu diungkapkannya saat menjadi salah satu pembicara dalam seminar 'Mengambil Pelajaran dari Pileg dan Pilpres 2014' di Hotel JS Luwansa, Jl. Rasuna Said, Jaksel, Rabu (27/8/2014). Acara ini digelar oleh Centre for Policy Studies&Strategic Advocacy.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Pilpres kali ini, Garin juga punya cerita. Ia didatangi oleh adik Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo. Oleh Hashim sutradara terkemuka ini ditanyakan apakah memiliki ketertarikan masuk ke ranah politik karena Gerindra bersedia mendukungnya.
"Saya bilang saya masih sibuk buat film, tapi ke Pak Hashim saya juga bilang dukung Jokowi. Tapi karena saya kaya Gareng nasibnya sial terus, dimarahi juga karena ketemu Pak Hashim. Padahal saya sudah pilih, nulis-nulis di Media," Garin mengungkapkan dengan gaya bergurau yang memancing gelak tawa peserta yang hadir dalam seminar.
Dari segi budaya, menurut Garin dalam Pemilu ini muncul sebuah melodrama yang terjadi terutama saat Pilpres. Selain menimbulkan melodrama suka dan benci berlebihan dari para pendukung pasangan capres-cawapres, fenomena melodrama juga terjadi pada sosok Jokowi.
"Pak Jokowi itu wajahnya melodrama. Kalau dulu SBY tubuhnya gede, mandor, ganteng maka ia (Jokowi) memilih yang kerakyatan. Bisa berubah jadi satrio piningit, bisa menjadi politikus yang turun ke jalanan. Jokowi dapat mentransformasi kerakyatan. Wajah tukang becak, tukang blusukan, tubuhnya bisa mengadopsi itu. Beragam identitas yang muncul dari tubuhnya sehingga menimbulkan simpati," papar Garin.
"Prabowo hanya satu, pemerintahan yang tegas. Satu tunggal, itu saja," sambung sutradara yang akan memproduksi film tentang Cokroaminoto ini.
Karakter melodrama yang muncul dalam Pemilu ini dinilai Garin memiliki 2 hal paradoks, positif dan negatif. Melodrama bisa menjadi sumber tenaga berlebih seperti menimbulkan stereotype, namun juga bisa menjadi tenaga yang besar untuk mendorong perubahan karena cinta berlebih.
"Lalu timbul partisipasi besar. Tapi suka dan benci berlebihan itu bisa memunculkan radikalisme," tutup pria yang masuk dalam usulan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Kabinet Jokowi ini.
(ear/mpr)