Sikap suka dan benci absolut ini terutama terhadap kedua pasangan yang bertarung dalam pilpres, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Ini muncul dari para elit politik pendukungnya hingga ke masyarakat.
"Adanya sikap suka dan benci absolut. Bagi yang jatuh cinta, ingat ini politik. Politic is not everything," kata Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo yang menjadi pembicara seminar 'Mengambil Pelajaran dari Pileg dan Pilpres 2014' di Hotel JS Luwansa, Jl. Rasuna Said, Jaksel, Rabu (27/8/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang menentukan boleh atau tidaknya anggota TNI memilih dalam pilpres bukan Panglima TNI tapi otoritas politik. Kasus Babinsa, di mana letak kesalahannya juga tidak jelas. Babinsa tidak punya kewenangan menjangkau warga sipil. Warga sipil punya siapa? Punya Pemda. Kok bisa Babinsa menjangkau sipil?," kata Agus.
Putra mendiang Pahlawan Revolusi Mayjen (Anumerta) Sutaya Siswomiharjo ini pun tergelitik dengan adanya wacana tak ada transaksional dalam koalisi. "Come on, politik itu untuk membujuk supaya lawan itu tidak berdaya dan menjadi kawan," tutur Agus.
Meski begitu, ada hal positif yang dapat diambil dari Pemilu yang memenangkan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wapres terpilih ini. Dikatakan Agus, Pemilu Indonesia kali ini diapresiasi pada tingkat Internasional.
"Pemilu dan transaksi demokrasi di Indonesia sangat diapresiasi Internasional terutama partisipasi warganya," tukas Agus.
Sementara itu menurut peneliti senior CSIS J. Kristiadi, ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari pemilu 2014. Beberapa di antaranya adalah munculnya wacana Pemilu serentak, politik korporasi media, proses pencitraan atau realitas semu, dan terjadinya reduksi demokrasi dengan munculnya pergerakan relawan.
"Dominasi kapital melalui media, kita bukan lagi sebagai citizen tapi cuma jadi konsumen yang harus mengkonsumsi barang-barang yang tidak bermutu. Yang namanya iklan pasti menyembunyikan kekurangannya," kata Kristiadi yang juga menjadi pembicara dalam diskusi yang diadakan oleh Centre for Policy Studies&Strategic Advocacy ini.
Kristiadi pun merusmuskan hal yang paling mendesak yang harus diubah dalam sistem politik yang akhirnya berdampak pada pemerintahan. Yaitu perlunya menghilangkan wilayah politik absen niat politik.
"Politisi tidak punya niat (baik), hanya beberapa orang saja. Contoh seperti yang sedang dievaluasi Pak Jokowi, ada puluhan lembaga yang tumpang tindih. Antar departemen dan lainnya. Seperti pengamanan laut, dari Polri, TNI bahkan Dinas Kehutanan. Ini karena nggak ada niat (memperbaikinya). Niat ini sangat penting," papar Kristiadi.
Pelajaran lainnya dari Pemilu kali ini disebut Kristiadi juga munculnya keadaan di mana publik didominasi oleh retorika. "Publik nggak ngerti yang benar salah yang gimana lagi. Apa benar Jokowi itu Robertus atau Haji? Di tingkat bawah banyak yang masih percaya. Publik bukan lagi dibangun untuk harmoni," jelasnya.
"Pilpres kemarin pertarungan yang sangat keras karena idiomnya adalah politik itu kawan-lawan, hitam-putih, menang-kalah, mereka vs kita. Di pileg saling bunuh biasa, sesama kader partai pun disikat. Politik uang juga sangat terbuka dan tragis," sambung Kristiadi.
Pria asal Yogyakarta ini pun mengungkapkan agenda yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, apapun sistemnya, perlu disusun pemerintahan yang demokratis.
"Reformasi parpol, pendidikan politik, kontrol dana kampanye dan parpol," tutup Kristiadi.
(ear/mpr)