Adigang Adigung Adiguna

Kolom

Adigang Adigung Adiguna

- detikNews
Selasa, 04 Jan 2005 12:22 WIB
Jakarta - Ramai-ramai kasus penembakan Adiguna Sutowo, mudah teringat pada sepak terjang Ibnu Sutowo, sosok yang untouchable meskipun sudah diserang habis-habisan termasuk lewat laporan investigasi harian Indonesia Raya. Ibnu Sutowo bertahan tetapi Indonesia Raya terhempas. Mochtar Lubis, pimpinan redaksinya dipenjara. Di bawah pimpinan Ibnu Sutowo, operasi Peramina tertutup bagi publik dan laporan tahunan keuangan Pertamina tidak pernah diumumkan. Laporan utama legendaris majalah Time, Soeharto Inc, 24 Mei 1999, tentu tidak lupa mencatat tentang Ibnu Sutowo. "Dalam dasawarsa pertama masa kekuasaannya, Suharto melalui Ibnu Sutowo menjadikan Pertamina seakan-akan milik pribadinya," tulis Time. Kalimat singkat itu tidaklah salah. Sekadar mengutip buku 50 Tahun Ford Foundation di Indonesia yang terbit dua tahun lalu. Ibnu Sutowo bukanlah satu dari beberapa tokoh Indonesia profil pestasinya diulas di buku itu. Namun, Kolonel Ibnu Sutowo Deputi Kepala Staf Angkatan Darat Mayjen AH Nasution, 1957 cukup memberi warna terutama pada Bab III dengan tema Minyak, Kebijakan dan Protes. Dalam edisi Indonesianya menjadi Malari, Minyak dan Mahbub ul Haq. Awalnya adalah pada 1957 ketika tentara mengurusi ladang minyak di Sumatra dengan nama masih Permina. Sembilan tahun kemudian, Permina yang didominasi Angkatan Darat berganti nama menjadi Pertamina. Kebutuhan akan minyak ditambah cadangan besar minyak di Indonesia membuat Pertamina menjadi pundi uang. Hanya sayang, pengurus uang hasil minyak itu tidak demikian saja gampang mengamalkan bunyi pasal undang-undang dasar, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Tulis buku itu, Ibnu Sutowo memimpin Pertamina dengan kekuasaan monopolistik atas setiap segi industri perminyakan, dari eksplorasi sampai pemasaran bensin. Karyawannya membesar hingga 40.000 orang pada 1970. Efisiensi diabaikan. Sutowo rupanya tidak hanya mengurus Pertamina. Mulai 1971, oleh Soeharto, ia diserahi sejumlah proyek pembangunan sekaligus diberi hak untuk mencari sendiri pembiayaannya. Pertamina praktis jadi ajang korupsi skala besar. Harian Indonesia Raya sebenarnya sudah membongkar besar-besaran kebocoran Pertamina ketika itu. Tetapi layaknya mafia Chicago, Al Capone, Ibnu Sutowo tidak tersentuh. Untouchables. Masih menurut buku 50 Tahun Yayasan Ford, Pertamina bahkan praktis membawa semacam glamor ke dalam kehidupan kelas atas Jakarta. Di tahun 1968, Ibnu Sutowo merayakan pernikahan salah satu putrinya dengan kemegahan yang masa itu tak ada tandingannya, hingga harian Pedoman menulis editorial khusus tentang peristiwa itu. Gaya hidup ini berlanjut. Bila perlu, Sutowo dan keluarganya, dengan pesawat khusus pergi ke seorang dokter gigi di Houston Texas. Dengan mudah ia bermain golf di Palm Springs, California. Di Jakarta, ia mengimpor Rolls Royce untuk dirinya. Bertahun-tahun lamanya ia seperti tak terjamah. Dia terus menerus membangun jaringan bisnis untuk keluarganya jauh lebih dulu ketimbang Suharto. Ketika Hotel Hilton di wilayah Senayan, Jakarta didirikan, Gubernur Ali Sadikin yang memberi izin menduga bahwa hotel bintang lima itu milik Pertamina. Ternyata kemudian itu milik keluarga Ibnu Sutowo. Tak jelas lagi batas mana yang milik pribadi dan yang bukan: kurang lebih ada 35 perusahaan swasta yang dimilikinya, baik sebagian atau seluruhnya, yang berhubungan dagang dengan Pertamina. "Mungkin akan lebih baik seandainya kita tak punya minyak," keluh ekonom Widjojo Nitisastro ketika itu. Sutowo membangun lapangan golf, memasukkan modal ke bisnis tanah dan bangunan, membiayai berdirinya Bina Graha, kantor kepresidenan Soeharto. Tahun 1972, membangun sebuah rumah sakit paling modern di Jakarta tepatnya di kawasan Blok M. Pendeknya, waktu itu Ibnu Sutowo merasa memiliki negeri ini. Hukum tidak mampu menjamahnya dan kekayaannya makin melebar kesana kemari. Sebagai orang Jawa, Ibnu Sutowo kelahiran Grobogan tentu tidak lupa akan peribahasa Adigang Adigung Adiguna. Lengkapnya peribahasa Jawa ini ada di tembang Pakubuwana IV dalam Serat Wulang Reh. Gambuhwonten pocapanipun,adiguna adigang adigung,pan adigang kidang adigung pan esthi,adiguna ula ikutelu pisan mati sampyuh. Adigang Adigung Adiguna artinya jelas. Orang jangan hanya mengandalkan kelebihannya sendiri. Adigang artinya kekuatannya, Adigung artinya kebesarannya dan adiguna artinya kepandaiannya. Hanya sayang, anak bungsu Ibnu Sutowo barangkali tidak pernah tahu peribahasa itu. Atau mungkin Ibnu Sutowo lupa mengajari anaknya tentang makna peribahasa ini. Adiguna Sutowo, bungsunya baru saja bertindak pongah, Adigang Adigung Adiguna dengan sembarangan menembak kepala orang. Astaga! Hei! Anda pikir negeri ini punyamu? Semoga saja polisi serius menuntaskan kasus ini, mengirim Adiguna ke bui untuk menyusul kawan karibnya sesama pereli dulu, Tommy Soeharto. Jaman bukan lagi Wild Wild West. (diks/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads