Kasus bermula saat polisi mengamankan Matnawi (55) dengan dugaan melakukan pelayanan medis yang seolah-olah menyerupai dokter pada 7 April 2011. Matnawi melakukan layanan pengobatan tradisional itu di rumahnya di Desa Penagan, Kecamatan Gapura, Sumenep.
Dalam dakwan jaksa, Matnawi melakukan tindakan memencet benjolan dan menyedotnya menggunakan alat suntik. Setelah itu, Matnawi menjahit bekas luka tersebut. Tindakan ini dinilai melanggar pasal 78 UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara-cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 150 juta.
Jaksa lalu menuntut Matnawi selama 4 bulan penjara.
Atas tuntutan ini, Pengadilan Negeri (PN) Sumenep menjatuhkan hukuman 3 bulan penjara pada 15 Februari 2012. Vonis ini lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya pada 12 Mei 2012. Atas hukuman itu, Matnawi pun mengajukan kasasi dan dikabulkan.
"Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan (vrijspraak)," putus majelis kasasi seperti dilansir website Mahkamah Agung (MA), Senin (18/8/2014).
Duduk sebagai ketua majelis yaitu Dr Artidjo Alkostar dengan hakim anggota Prof Dr Surya Jaya dan Sri Murwahyuni. Dalam putusan yang diketok pada 9 Oktober 2013 lalu itu, ketiganya meyakini Matnawi tidak melakukan praktik medis yang menyerupai dokter sebab Matnawi merupakan tabib atau ahli pengobatan tradisional.
"Perbuatan terdakwa yang melakukan pengobatan dengan cara tradisional tidaklah perlu izin kedokteran sebagaimana ditentukan UU sebab terdakwa tidak bergerak dalam praktik kedokteran," ucap majelis.
Sesuai fakta persidangan, semua saksi menerangkan mereka datang ke tempat praktik Matnawi tidak merasa dirugikan. Selain itu, penyakit yang dirasakan relatif mengalami perbaikan atau kesembuhan.
"Apalagi terdakwa tidak memasang tarif bayaran kecuali keikhlasan para pasien untuk memberikan imbalan jasa," ujarnya.
Adapun barang bukti yang dihadirkan ke persidangan, ternyata merupakan obat yang tidak perlu izin dokter. Barang tersebut bebas diperjualbelikan dan digunakan oleh siapa pun.
"Tidak ada satu pun alat atau obat yang dipakai terdakwa tergolong obat keras dan alat terlarang yang digunakan," katanya.
Ditambah, masyarakat setempat tidak ada yang mengetahui Matnawi adalah dokter. Masyarakat mengetahui Matnawi sebagai ahli pengobatan alternatif tradisional selama 30 tahun lebih.
"Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya," cetus majelis. Matnawi dalam kasus itu tidak ditahan sejak proses penyelidikan hingga kasasi.
(asp/nrl)